Jumat, 25 April 2008

ZIARAH

Oleh: Zaldy Munir


HAMPIR sebelas tahun kami berkeluarga, tak sekali pun istriku mengajak berziarah kemakam Ayah. Kupikir, dia saja tak lagi merindukan orang tuanya, apalagi aku cuma menantunya. Pernah beberapa kali, terutama menjelang masuk bulan Ramadhan, aku mengajak istriku kemakam Ayah. Tetapi, istriku selalu menolak dengan berbagai alasan.

“Aku bukan anak kesayangan Ayah. Anak kesayangan Ayah itu Santi, Anto, dan Lilis. Suruh mereka Ziarah!” Istriku memberi alasan dengan suara meninggi. Ini kali terakhir aku mengajaknya berziarah.

Aku tahu dari cerita istriku, di mata Ayah ia memang seperti anak buangan. Sebagai anak tertua, Sinta, istriku, seharusnya jadi panutan bagi ketiga adiknya. Ia juga berkewajiban, misalnya, membantu Ibu. Kenyataannya, ia acap berada di luar rumah bersama teman-temannya dan baru pulang saat matahari sudah terbenam.

Suatu ketika Ayah amat berang, kenang sinta, lalu memarahi dan memukulinya. Bahkan ia nyaris dihantam oleh Ayah, kalau ibu tidak segera menariknya ke dalam kamar. Sejak itu, Ayah tak pernah menegur meski berpapasan. Begitu pula Sinta. Sejak itu keduanya layaknya kucing dan anjing, betapa pun tak saling menggonggong dan mengeong, namun tak saling melirik.

Sinta tahu betul kelakuan ayah di liuar rumah. Sinta pernah melihat Ayah bersama perempuan sebaya dengannya masuk ke sebuah supermarket. Hatinya seakan pecah saat itu. Ia seakan menyaksikan Ayah yang tengah mengiris-iris kesucian dan kesetiaan Ibu. Ia menagis dalam hati. Ketika fakta itu diceritakan kepada Ibu, Ibu hanya tersenyum.

“Mungkin Ayahmu sedang mengenang masa-masa mudanya. Kalau Ayah sudah puas dengan cara itu, ia akan kembali juga kepada keluarganya, kepada kita. Ia sebenarnya mencintai keluarga…” Ibu berujar. Sinta melihat Ibu tetap tegar.

Tapi, perkiraan Ibu meleset. Ayah makin menjadi-jadi dengan para perempaun yang bukan istrinya. Setiap kali Ayah ke luar kota untuk urusan pekerjaanya, ia tak pernah minta didampingi Ibu. Tetapi, demikian Sinta, ia yakin Ayah selalu ditemani perempuan.

Pernah Sinta melihat Ayah masuk ke sebuah hotel sebelum ia berangkat ke jakarta. Tak lama kemudian ia sudah keluar bersama perempuan lalu menuju pelabuhan penyeberangan. Pernah pula karena kelakuannya itu, Ayah dihajar preman dekat hotel saat hendak menjemput Novi yang akan menemaninya selama di Bandung. Surat kabar daerah memberitakan insiden di depan hotel itu. Ibu acuh menanggapi.

Terkadang, cerita Sinta lagi, ia berpikir apakah Ibu apatis karena sudah tahu sifat Ayah sejak pacaran? Atau ibu takut dicerai jika protes? Ayah memang pebisnis sukses, aktivis partai, juga anggota legislatif yang bertahan dua kali pemilu. Sayangya, Ayah tak bisa meninggalkan kebiasaan mabuk, perempuan, dan hobi nongkrong dengan teman-temannya di ruang karoke.

“Apa yang bisa kuteladani dari Ayah? Itu sebabnya, aku protes dengan cara menghabiskan waktu di laur rumah!” Tandas Sinta suatu hari sebelum aku menyuntingnya sebagai istri. “Tapi, protesku tak pernah sampai ke hal negatif. Misalnya, berhenti kuliah, mabuk-mabukan, jadi wanita penghibur, dan sebagainya. Pikirku, itu cara yang tolol!”

Sinta yang kutahu, memang tak suka hedonis dan independen. Kalau ia pulang sampai larut malam, bukan mencari kesenangan. Ia kerap main di rumah teman-temanya, belajar, dan baru pulang pada malam hari. Pertama kali aku bertemu Sinta di rumah Nisa, adik dari tamanku. Sejak itu kami sering ketemu untuk berdialog. Meski kami lain perguruan tinggi, kami acap jalan bareng. Karena sering bersama, akhirnya kami saling jatuih cinta. Seusai wisuda, aku melamarnya. Saat itu Ayahnya sudah meninggal.

Meski aku tak pernah melihat Ayah, sebagai menantu aku berkewajiban untuk mengajak istriku ziarah. Bagaimana pun Ayah berjasa membesarkan mereka. Sejahat-jahat Ayah, tetap orang tua yang meski dihormati.

“Aku tetap hormat padanya, tak sekedar bahwa ia pernah menjadi orang tuaku, karena ia adalah suami dari Ibu…” jawab Sinta.

“Bukan sekedar itu, Sinta. Ayah juga memberimu segala kebutuhanmu. Ayah bekerja untuk kesejahteraan kalian,” kataku nasehatinya.

“Setiap orang tua mana pun pasti berbuat begitu. Jadi, tak perlu dibahas karena memang tidak aneh…” Sinta menukas. Ia tak mau kalah. Ia juga hendak mempertahankan sikapnya yang sebenarnya menurutku amat kaku, fatalis, dan skeptis. Hanya aku tak mau memperpanjang, sebab akan meruncing pertangkaran.

Apalagi Sinta pernah mengingatkanku. “Mas, jangan singgung lagi soal Ayah. Ia sudah lama meninggal. Aku janji akan mengajak Mas Indra kalau aku benar-benar mau ziarah ke Ayah,” sejak itu, aku tak lagi menyinggung soal itu.

***

Kalau pagi ini tiba-tiba Sinta mengajakku ziarah, apa karena ia sudah menyadari kesalahannya? Atau karena sadar bahwa masa lalu hanya pantas dikenang, tapi tak harus tertanam jadi dendam? Entahlah. Terkadang aku sulit memasuki hati Sinta yang acap mistri.

Sejak pagi tadi, Sinta sudah menyiapkan segala sesuatu untuk ritus ziarah. Ada bunga, surat yasin, dan sebagainya. Tetapi, diam-diam aku keluarkan lagi dari tas. Aku tak terbiasa dengan pernik-pernik seperti itu. Ziarah adalah datang dan berdoa. Karena kekuburan adalah untuk mengingatkan yang masih hidup bahwa kita akan mengalami hal serupa.

Kalau aku kerap membujuk Sinta berziarah ke makam Ayah, itu karena aku ingin mengingatkannya sebagai anak pada orang tua. Setalah itu kuharap ia tidak lupa mendoakan keselamatan, kebahagiaan, dan ketentraman Ayah di alam kubur setiap salat. Kalau tak pernah ingat, mana mungkin ia akan mendoakan? Hanya anak yang baik dan saleh yang diharapkan oleh orang tua bisa mendoakannya.

Saat memasuki TPU, pemakaman itu masih lenggang. Di depan nisan Ayah, Sinta tiba-tiba saja menangis tersedu sambil menjatuhkan tubuhnya. Aku tak sempat memegangnya, kening Sinta terluka karena beradu dengan nisan. Aku ingin mengelap dengan sapu tanganku, tapi ia menapik halus. Ia menangis. Ya! Keterharuan kini menyergapnya. Mungkin ia menyadari kehilafannya selama ini.

Kubiarkan Sinta seperti itu. Kubarkan kedua telapak tangannya berlumur tanah. Kubiarkan selendangnya juga ikut basah oleh air mata. Kubiarkan ia memeluk nisan seperti ia memeluk ayahnya. Kedua anakku mendekap tubuhku, memandang mamanya. Saat itu, sinar mata hari menjelang pukul 09.00 menyengat tubuhnya.

“Apakah Ayah mau memafkanku, Mas?” Sinta bertanya setelah kami berada di mobil. “Aku banyak dosa pada Ayah…”

“Allah saja Maha Pengampun, kenapa manusia tidak mau memberi maaf?” Kataku balik.

‘Kalau kita ikhlas meminta maaf, yakinlah orang lain akan memaafkan kita.”

“Aku ihklas, aku ingin minta maaf. Aku memohon Allah mau mengampuni dosa-dosa Ayah. Aku juga berjanji akan mendoakan Ayah setiap selesai salat…”

“Kenapa tiba-tiba kau begitu terbuka, pemaaf, dan mau ziarah? Ada sesuatu yang mengusik hatimu?” tanyaku kemudian.

“Ya. Tiga malam terakhir ini aku bermimpi didatangi Ayah. Ayah merangkak dan aku menyambutnya pula dengan merangkak. Kami bertemu di suatu padang tanpa belantara, ilalang, pasir, dan tanah. Kami seperti dua hewan yang melata, dahaga, dan lapar...” Sinta menjelaskan mimpinya. “Lalu kami saling berpelukan, melepas rindu,…”

Sinta melanjutkan ceritanya, “Aku kasihan melihat nasib Ayah. Di dalam mimpi, aku lihat Ayah digebah dan dicambuki sejumlah pengembala. Layaknya lembu atau sapi, Ayah digebah oleh pengembala yang semuanya perempuan. Ah, entah apa pula maskud dari semua itu. Aku tak tahu, aku tak mengerti, aku tak bisa menafsirkan mimpiku itu.”

Tapi, apa perlu mempersoalkan mimpi? Hematku, yang penting Sinta sudah mau datang ke makam Ayah. “Kuharap setelah ziarah ini, hatimu jadi tenang,” ujarku pada malam hari menjelang tidur. Sinta mengangguk. Kemudian ia terlelap. Wajahnya tampak damai. ***

Ket : Cerpen ini pernah dimuat Majalah Sabili. Edisi 5 Th. xiv September 2006

Tidak ada komentar: