Jumat, 25 April 2008

MAAFKAN AKU NEK

Oleh: Zaldy Munir


NYONYA Andini Fitria Lestari Afriyanti, seuntai nama yang cantik, secantik orangnya. Penampilannya sangat menawan dan mungkin orang tidak akan menyangka bahwa ia seorang ibu dua anak yang telah beranjak dewasa. Wajahnya seperti wanita yang baru berusia dua puluh tahun. Padahal boleh percaya boleh tidak, usianya kini sudah empat puluh tahun. Sungguh beruntung Wilman Saputra mendapatkannya.

Mereka berdua adalah pengusaha restoran nasi gorong yang sangat sukses di kota ini. Usaha ini mereka rintis selepas menamatkan kuliah mereka. Dengan modal seadanya dan berbekal kepandaian mamasak dari Andini dan ibu Wilman juga ditambah dengan keandalan Wilman dibidang marketing, usaha ini dengan cepat mengalami kemajuan. Saat ini, tidak kurang dari lima cabang yang telah mereka miliki di kota ini.

Andini memasuki ruang kerja iparnya dengan langkah tergesa-gesa. Entah apa yang akan dibicarakan Novi dengannya hari ini. Firsatnya mengatakan, ada berita yang tidak baik yang akan disampaikan kepadanya. Sebelumnya, Novi tidak biasa memanggilnya untuk bicara berdua saja.

“Assalamu’alaikum, Mbak!”

“Wa’alaikum salam, duduk, An. Kamu sendiri atau ditemani suamimu?”

“Sendiri, Wilman ada pertemuan dengan rekan bisnis kami hari ini. Tampaknya ada hal penting yang akan Mbak bicarakan?”

“Ehm...sebenarnya aku tidak enak membicarakan hal ini denganmu. Mungkin akan membuatmu tersinggung. Namun, kalau aku membicarakannya dengan suamimu, akibatnya mungkin lebih fatal lagi. Jadi, lebih baik aku berterus terang padamu saja,” Novi menarik napas kemudian malanjutkan bicaranya.

“Selama ini kita selalu terbuka satu sama lain. Baik atau buruk kita selalu saling mengingatkan, bukan? Ini menyangkut Ibu, An.”

“Ada apa dengan Ibu, Mbak? Aku pikir Ibu baik-baik saja dan beliau tidak pernah mengeluh pada kami. Malah minggu lalu, hasil pemeriksaan kesehatannya menunjukkan hasil yang sangat memuaskan. Aku sendiri, kok, yang mengantarkannya ke rumah sakit,” nada suara Andini terdengar sangat khawatir. Ia sangat takut jika terjadi sesuatu dengan mertua perempuannya yang sudah dianggap sebagai pengganti ibunya yang telah lama meninggal. Kalau bukan karena bantuan ibu mertuanya, mungkin dia tidak akan sukses ini. Ia bisa tenang mengurus bisnisnya tanpa khawatir anak-anaknya. Selama Wilman dan Andini di kantor, ibu mertuanyalah yang selalu mengurusi kebutuhan anak mereka.

“Hal ini tidak menyangkut kesehatan Ibu. Namun, labih menyengkut perasaan dan harga diri Ibu sebagai orang tua.”

“Astaghfirullah! Apa lagi ini?” Firasat Andini semakin buruk saja. Apakah ia secara tidak sengaja telah menyakiti perasaan orang yang sangat dikasihinya itu?

“Sebenarnya Ibu melarang aku untuk membicarakan ini denganmu ataupun dengan Wilman. Namun, sebagai kakak, aku merasa berkewajiban untuk memberitahukan hal ini meskipun mungkin akan sedikit mancampuri urusan rumah tangga kalian. Aku harap, kamu tidak tersinggung, An”

“Tentu saja aku akan berusaha menerimanya dengan lapang dada. Jika aku salah, sebelumnya aku minta maaf, Mbak!”

“Begini, An. Minggu lalu terjadi peristiwa yang tidak mengenakkan antara Heru dengan Ibu. Ibu manasehati Heru agar tidak membawa kawan wanitanya masuk ke dalam kamar. Meskipun pintu kamar itu terbuka, hal itu tidak etis bila dilihat dari kacamata kita sebagai orang timur. Entah bagaimana Ibu menegurnya, Heru sampai meludah di depan Ibu. Meskipun tidak menganai Ibu, hal itu membuat Ibu merasa sangat tidak dihargai lagi, sebagai orang tua.”

“Astaghfirullah! Heru melakukan hal seperti itu, Mbak? Aa...aku rasanya tidak bisa percaya,” ujar Andini tergagap sambil meremas-remas tangannya. Keringatnya mengucur deras. Entah berwarna apa mukanya saat itu. Peristiwa itu merupakan tamparan keras di wajahnya.

“An, kamu tidak akan menuduh Ibu mengarang cerita ini, bukan?”

“Tentu saja tidak Mbak. Aku tidak habis pikir, mengapa Heru tega melakukan hal seperti itu pada Neneknya. Setan apa yang telah merasuki jiwanya? Aduh Mbak, aku sangat malu!”

“Aku tidak ingin menyalahkan Heru, An. Mungkin saja ia meresa telah dewasa dan sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga ketika Ibu menegurnya, ia merasa privasinya telah diganggu. Toh wanita yang diajaknya hanya mendengarkan musik saja di kamar. Namun, hal seperti itu tidak bisa ditolerir di keluarga kita. Apalagi ibu yang masih mengagungkan adat ketimuran.”

“Apa pun alasanya, anak itu sudah sangat keterlaluan. Kalau Wilman tahu, tentu ia akan marah besar.”

“Sebaiknya kamu menyelesaikan hal ini dengan Heru tanpa sepengetahuan ayahnya. Ibu telah berpesan padaku, jangan sampai Wiman tahu. Beliau tak ingin sesuatu yang buruk menimpa cucunya hanya karena kemurkaan Wilman.”

“Entah di mana aku harus menaruh mukaku ini. Berhadapan dengan Mbak saja aku meresa malu, apalagi harus berhadapan dengan Ibu. Aku betul-betul gagal menjadi seorang ibu yang baik, Mbak.”

“Kamu tidak perlu merasa seperti itu, An. Kamu tetap adikku yang baik. Masalah ini tidak akan mengubah hubungan kita. Pulang dan bicaralah dengan Ibu kemudian dengan Heru. Aku yakin, kamu bisa membereskan hal ini dengan baik.”

“Oke, Mbak. Aku permisi dulu. Terima kasih atas perhatiannya.”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Andini malaju menembus keramaian lalu lintas. Entah sudah berapa sopir angkutan kota yang mengumpat karena mobilnya hampir bersenggolan dengan mobil Andini. Entah kekuatan apa yang menyebabkan ia mampu mengendarai mobil dengan kecepatan seperti itu. Hanya satu tujuan, yaitu segera sampai di rumah dan mencium tangan mentuanya sebagai permohonan maaf karena ulah anaknya yang dirasakan sangat memalukan.

Teeeeee! Pak Darman yang terkantuk-kantuk terkejut ketika mendengar suara klakson Andini. Pembantu keluarga Andini itu segera membukakan pintu. Ia sebenarnya ingin mengucapkan salam. Namun, begitu melihat air muka Andini, ia langsung terdiam.

“Pak, Ibu sudah pulang?”

“Iya, tadi diantar Pak Surya! Mungkin sekarang sedang istirahat di halaman belakang.”

Andini bergegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Pak Darman yang terbengong-bengong melihat tingkah tuanya. Belum pernah ia melihat air muka Andini mnyiratkan kemarahan yang amat sangat. Nyonyanya yang satu ini paling jarang marah, bahkan dalam keadaan marah pun terkadang masih tesenyum. Hanya dari nada suaranya yang terdengar tegas dan sedikit menyindir, orang sudah tahu ia sedang marah.

“Ibu! Maafkan Dini. Dini sudah menyakiti perasaan Ibu!” Andini langsung berlutut menciumi tangan ibunya.

“An, ada apa ini? Kamu sudah melakukan apa sehingga harus mencuimi tangan ibu sedemikian rupa?”

“Aku bukan ibu yang baik dan tidak bisa mendidik anak dengan benar. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan urusan kantor sehingga tidak mengetahui kelakukan anak-anak ku sendiri.”

“Apa lagi yang dilakukan anak-anakmu, An? Sampai kapan pun, di mata ibu kamu tetap anak yang paling baik dan paling pandai mengurus anak dan cucuku. Kamu juga sudah mengurus dan menyediakan segala kebutuhanku di rumah ini sehinga aku bisa melewati masa tuaku dengan tenang. Apa yang membuatmu demikian risau, An?” Mertuanya menuntun tangan Andini dan mendudukannya di sampingnya.

“Mengapa Ibu menyembunyikan masalah Heru? Seharusnya aku diberi tahu sehingga aku bisa bicara dengan anak itu. Jangan sampai hal ini berlarut-larut dan membuat ia berpikir bahwa bisa memperlakukan Ibu seenaknya saja. Anak itu harus diberi pelajaran.”

“An, kamu jangan terlalu keras. Saat ini ia sedang dalam proses mencari jati dirinya. Jika kamu terlalu menekan, jiwanya akan berontak. Ibu sudah melupakan kejadian itu dan Ibu rasa hal itu tidak akan terulang kembali. Pada dasarnya Heru adalah anak yang baik.”

“Apa pun alasannya, saya harus tetap bicara dengan Heru dan memberinya sedikit pelajaran agar tidak melecehkan orang yang lebih tua darinya!”

“Terserah kamu, tapi jangan sampai kamu menyakitinya. Ia bukan anak kecil lagi yang bisa kamu jewer telinganya ketika ia berbuat suatu kesalahan. Ia telah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa. Sebaiknya kamu istirahat. Kamu tampaknya lelah,” Andini mengangguk kecil dan segera pamit untuk istirahat.

***

Sore itu Andini sengaja tidak menengok restorannya. Ia ingin menunggu kepulangan Heru. Ia harus segera membereskan masalah ini dengan anaknya. Meskipun ia telah meminta maaf pada mertuanya, ia tetap tidak dapat mengampuni dirinya sendiri. Bagaimana mungkin Heru yang begitu manis tega berbuat demikian pada orang yang ia hormati. Membantah perkataannya saja Andini sangat segan. Apalagi melakukan hal...Ah, ingin rasanya Andini merobek mulut anaknya jika mengingat apa yang telah dilakukannya.

“Heru! Setelah menyimpan tas, kamu langsung menemui Mamah di ruang kerja. Ada hal penting yang harus kita bicarakan,” Andini langsung memanggil Heru ketika melihat anaknya itu menaiki tangga menuju kamarnya.

“Ada apa, Mah?”

“Jangan banyak tanya. Ikuti saja yang Mamah katakan. Mamah beri waktu kamu lima menit!”

Heru memandang Filsa, adiknya. Namun, Filsa hanya mengangkat bahu tanda tidak mengatahui apa-apa. Yang jelas, mereka berdua tahu, Mamah mereka sangat marah.

“Ada apa, Mah?”

“Duduk! Kamu tahu apa kesalahanmu sehingga Mamah memanggil kamu kemari?”

Heru menggeleng tak mengerti.

“Apa yang telah kamu perbuat pada Nenekmu minggu lalu?” Heru tersentak keget. Ia tidak berani lagi manadang ibunya. “Pandang Mamah jangan jadi pengecut! Mengapa kamu meludah di depan Nenek ketika beliau menasehatimu? Perbuatan macam apa itu!”

“Heru khilaf, Mah, Heru janji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi!”

“Apa kamu bilang...! Khilaf...! Seenaknya saja kamu mengatakan hal itu! Apakah Mamah mengajarkan bahwa setelah dewasa kamu bisa menentang orang tuamu?” Heru menggeleng lemah. “Kamu tahu apa yang Mamah pegang ?” Heru mengangguk pelan. Benda itulah yang menyebabkan kulitnya memar dipukul ayahnya ketika mencuri mangga Pak Dimas. Ia pasrah saja kalau mamahnya memukulnya dengan sabuk kulit itu. Toh itu memang kesalahannya. Sungguh di luar dugaan Heru, mamahnya menyabetkan sabuk itu ke tubuhnya sendiri. Andini terus memukuli tubuhnya.

“Mamah, jangan lakukan itu...!”

“Mamah...hentikan...!”

“Heru mohon...!”

“Seperti inilah mungkin rasa sakit hati Mamah karena tidak becus mendidik kamu dengan benar. Apa kata orang jika mengatahui hal ini? Mau taruh di mana muka Mamah ini. Ternyata keluarga yang tampaknya begitu sempurnya punya anak yang begitu kurang ajar dan tidak tahu sopan santun,” Andini terus memukuli tubuhnya, tidak memperdulikan teriakan Heru.

Kegaduhan di ruang kerjanya membuat Filsa dan ibu mertuanya panik. Segera saja mereka menggedor-gedor pintu kamar Andini. Namun, pintu kamar itu tetap terkunci rapat. Untungnya Wilman datang dan mendobrak pintu itu. Di dalam kamar, Heru manciumi kaki ibunya yang masih terus mencambuki dirinya sendiri.

“Mamah jangan sakiti diri Mamah. Ini semua kesalahan Heru!” Mereka tercengang melihat pemandangan di depannya. Filsa teriak histeris melihat ibunya. Wilman segera memeluk istrinya dan merampas sabuk itu.

“Apa yang telah kamu lakukan?”

“Aku tidak berhasil mendidik anak kita dengan baik. Ia telah durhaka pada Ibu. Kamu pasti akan menyalahkan aku,” kalau tidak ditahan Wilman, Andini akan terjatuh ke lantai. Ia tidak punya kekuatan apa-apa lagi. Tenaganya habis terkuras. Wilman membopong istrinya dan membaringkannya ke tempat tidur.

“Astaghfirullah, An. Kenapa kamu menyakiti dirimu sendiri? Ibu toh sudah memaafkan perbuatan Heru. Lalu kenapa kamu tidak dapat melupakan kesalahan anakmu sendiri?”

“Mamah, Heru akan menuruti semua keinginan Mamah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan ini lagi, asalkan Mamah tidak menyakiti diri Mamah lagi.”

“Mamah sudah maafkan kamu, sayang. Sekarang mintalah maaf pada Nenekmu.”

“Maafkan aku Nek.”

“Nenek sudah memafkanmu, jauh sebelum kamu memintanya,” Heru langsung berlutut mencium tangan neneknya. ***

Tidak ada komentar: