Minggu, 27 April 2008

UNTAIAN KASIH

Oleh: Zaldy Munir


MALAM bertambah pekat disiram hujan yang tak berkesudahan, diselingi kilat yang bersambung dengan gemuruh halilintar, bak gempa yang beruntun. Angin bertuip kencang menderu-deru, membuat dahan-dahan bergoyang ngebor dan menimbulkan gemerisik ketika daun-daun bergesekan. Hanya derai air di atap rumah, di daun-daun, dan di selokan sampah bertumpah ruah berlarian ke mana-mana, berwarna gelap dan beraroma bau.

Suara tidur dalam sunyi, raga bersembunyi di balik selimut mencari kehangatan. Semua terlelap dalam hipnotis hujan. Malam sudah dua pertiga dan suasana semakin khidmat dalam ritme irama hujan. Hanya mata-mata yang penuh gairah rindu tetap terjaga dengan bibir basah mengeja doa. Dan jiwa yang selalu gelisah di tepian jendela.

Leha, meratap di tepi jendela kaca yang menghadap ke jalan, berkali-kali diusap embun yang menyelimuti kaca dengan jari-jari tangannya yang lentik. Keringat bersimbah di wajah mengucur deras meski suasana malam itu terasa dingin mengigit. Ada segumpal rindu yang membuncah dikala hujan, ada gejolak rasa yang tertahan saat dingin menusuk, ada berbagai ratapan berkepanjangan. Memori-memori masa silam saling berkelabat, membentuk nostalgia, berromantisme, lalu menjelma menjadi luka di hati.

Di tepi jalan berjejer pohon-pohon flamboyan, bak segerombolan raksasa kedinginan. Tapi, tatapannya tidak jelas ditunjukan kepada siapa? Pada derai hujankah, pada jalanan sepi, atau memang ia tidak pernah sungguh-sunguh menatap, hanya tatapan kosong dari hati yang sepi pasti diakhiri oleh airmata. Entahlah, tanyakan saja padanya atau pada hujan yang selalu membuatnya berlama-lama duduk di tepian jendela. Hujan selalu mengiringi fase-fase terpenting dalam perjalanan hidupnya.

Ia dilahirkan kala hujan sedang deras-derasnya demikian kisah yang dituturkan oleh sang ibu, dan disaat hujan pula sang ayah meninggal kala usianya menginjak kelas enam sekolah dasar. Dan hujan pula yang mempertemukan untuk pertama kalinya dengan Mas Susanto saat mereka berdua berteduh di sudut halte. Air hujan menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka berdua. Leha tentu tidak dapat melupakan hujan yang mempersatukan hatinya dengan Mas Susanto.

Leha, sorang perawan desa. Wajahnya yang cantik, tapi tak secantik bidadari. Kulitnya yang putih, tapi tak seputih susu. Tubuhnya yang langsing, tapi tak selangsing tiang listrik jauh dari kata seksi. Senyumnya yang manis, semanis madu cinta. Dan ia selalu tampil apa adanya, sederhana, dan sangat bersahaja. Hal itulah yang membuatnya berbeda dengan wanita-wanita yang lain, yang senantiasa tampil seksi, mewah, dan gelamor. Mas Susanto sendiri tak tahu mengapa bila didekatnya merasa tentram, ia merasa menemukan sesuatu yang teramat murni dan jujur dari sikap dan kata-katanya. Kemanjaan dan ketegasannya keluar dengan wajar dari kuncup hatinya.

Pandangannya yang penuh yakin talah menjerat hati Mas Susanto, ia katakan dalam hati, kaulah wanita yang akan melahirkan anak-anakku. Hal itulah yang membuatnya langcang menawarkan hidup untuk ditemani.

“Leha, masih kuingat jelas dimemoriku, saat pertama kita bersua, wajahmu yang memerah dalam ranum kemanjaan sedang menyambutku. Wajahmu yang bersih terpancar ketengan, kedamaian serta kelembutan. Wajahmu yang ayu, wajahmu yang bening terbalut dengan jilbab dan wajahmu selalu menghangatkan kolbuku dalam kesedihan. Senyummu yang tanpa polesan seperti mengguncang jantungku,” ucapnya sebelum melamar Leha.

Mata Mas Susanto menerawang, menatap langit-langit lalu kembali turun. Ia terdiam sejenak, lantas ia berkata. “Leha, ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu...sesuatu yang belum pernah aku katakan kepada wanita lain...sesuatu yang belum pernah aku katakan kepada semua wanita...sesuatu yang belum pernah aku katakan kepada wanita siapa pun. Jikalau engkau memang diciptakan untukku ke mana pun kau berlari tujuannya adalah aku. Apakah purnama di atas telaga sama dengan purnama di langit sana? Jikalau memang kau milikku ke mana lagi tempatmu mengadu cinta dan rindu. Leha...aku sayang kamu, maukah engkau menjadi istriku? Seperti mimpi yang kutawarkan pada lautan dan senja dahulu.” Mas Susanto malamarnya dengan penuh kesungguhan dan kejantanan sebagai seoarang lelaki.

Selesai ia mengungkapkan seluruh hatinya. Leha pun bungkam dengan seribu kata-kata. Jangankan bicara menoleh pun tidak. Mas Susanto sendiri pasang muka heran campur cemas saat melihat wajah Leha. Namun, perlahan tapi pasti Leha membuka mulutnya, dengan nada berat ia berkata.

“Jikalau memang putaran takdir mempersatukan kita aku tak kuasa menolak, lebih baik kita lalui irama nasib dengan bahagia dan senyuman, biarkan saja semua mengalir tanpa perlu direka-reka, seperti juga hujan berhenti dengan sendirinya ketika air dilangit tandas,” ujar Leha menjawab pinangan Mas Susanto. Tawaran yang disambut angguk malu-malu. Anggukan yang membuat hidup Mas Susanto penuh arti. Begitu awal dari kisah perjalanan cinta mereka yang tak seindah mereka sangka.

***

”Menjadi istri tentara, apa kamu tidak salah?” Pertannyaan ibu urung membuat gelisah dan ketidakmengertian di hati Leha, bukankah mempunyai menantu tentara merupakan suatu kehormatan tersendiri sebab berarti anak perempuan semata wayangnya mempunyai masa depan yang jelas, setidaknya itu yang ia ketahui dari kawan-kawannya.

“Kalau pangkatnya Perwira mungkin akan lebih bagus, tapi Susanto itu hanya prajurit,” lanjutnya, kini Leha mengerti maksud ibu ke mana arahnya.

“Prajurit itu gajinya kecil, tidak ada objeknya, seperti polisi lalu lintas,” sambung Bulek Sari mengamini ucapan itu. Ah, wanita satu ini memang selalu memikirkan harta, wajar jika ia sampai kawin cerai sebanyak tiga kali dan saat ini ia sedang menjanda karena suami-suaminya tidak mampu memenuhi hasrat konsumerismenya yang tinggi. Jawab Leha membatin.

“Aku bisa berdamai dengan kemiskinan,” Leha mencoba membela diri.

“Bagaimana mungkin kamu bisa berdamai dengan kemiskinan sedangkan kamu tidak pernah sungguh-sungguh berkelahi menaklukan kemiskinan, selama ini kamu selalu dimanjakan, kebutuhanmu selalu tercukupi, kamu bahkan tidak pernah merasa bagaimana susahnya mencari uang,” Bulek Sari memberondong Leha dengan kata-kata yang tak mampu membuatnya menjawab. Ia menunduk dan menatapi lantai marmer rumahnya yang berwarna putih. Ketika ia mendengar penjelasan Bulek Sari, ingin sekai rasanya ia merobek mulut wanita yang satu ini, yang selalu memojoki dirinya. Dan ia pun merasakan di dirinya sebagai sorang terdakwa yang sedang diadili di tengah-tengah keluarga besarnya. Sudah menjadi adat keluarga jawa yang memutuskan perihal jodoh, harus melewati kesepakatan keluarga besar, dilihat dari bibit, bebet, dan bobotnya sebab katanya menyangkut masa depan harga diri mertabat keluarga.

“Jadi istri prajurit itu harus kuat fisik dan mental, sebab didikan tentara itu keras,” kini Pakde Yamin yang angkat bicara.

“Tapi selama ini Mas Susanto sangat sayang padaku, sikapnya lembut, penuh cinta, jangankan bertindak kasar, membentak, apalagi melototi aku pun Mas Susanto tidak pernah, aku malah merasa aman di sisinya.”

“Itu karena kalian masih pacaran, jadi segala sesuatunya tampak indah, pacaran itu realitas manipu dan penuh dengan kebohongan. Nanti jika kamu sudah menikah baru akan terlihat tabiat aslinya, banyak sekali contohnya,” sambung Pakde Yamin.

“Istri tentara harus siap ditinggal dinas untuk menuaikan tugas negara kapan saja, kuat melawan kesendirian, kesepian dan yang terpenting siap jadi janda, mengingat pangkat Susanto itu hanya prajurit yang pasti ada di barisan depan ketika perang melawan pemberontak atau musuh negara lainnya, itu yang meski kamu pikirkan lebih mendalam,” Pakde Wartono menimpali dengan nada pelan penuh kasih sayang.

“Aku sudah pikirkan semuanya dan aku mengambil keputusan harus menikah dengan Mas Susanto apa pun risikonya akan aku hadapi,” Leha menjawab semua kata-kata para sesepuhnya seolah ingin mengakhiri pertemuan keluarga dengan rasa optimis tinggi walaupun perkataan Pakde Wartono yang terakhir cukup membuat hatinya gelisah.

“Kamu tidak pernah tahu bila akan jatuh cinta. Namun, apabila sampai saatnya itu raihlah dengan kedua tanganmu dan jangan biarkan ia pergi dengan sejuta rasa tanda dan tanya di hatinya. Leha, kalau memang itu keputusanmu untuk menikah dengan Susanto, doa Ibu selalu menyertaimu, kebahagiaan akan selalu memayungimu setiap langkahmu. Berjuta kilau bintang di langit akan selalu menghiyasi kehidupanmu. Sejuk dan tenangnya air akan selalu berada pada hati dan pikiranmu. Indahnya sinar rembulan akan selalu menghiyasi sunyum manismu,” tutur sang ibu yang memberikan renstu pernikahan mereka berdua.

Leha pun tersenyum sambil memandang sang ibu yang kini sudah berusia enam puluh dua tahun. Rambut hitamnya yang memutih diatur rapi. Matanya yang jenuh dan mukanya berkerut karena usianya. Kerutan wajahnya mencerminkan kelelahan. Bahunya yang dahulu tegak kini terbungkuk. Urat-urat nadi yang terpilih di otot tanganya mulai keriput. Ibu Sasmanti, betapa sudah terlalu rentan diusianya yang makin menua.

“Leha, apa yang sedang kamu pikirkan.”

“Tidak, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karen Ibu telah merestui pernikahanku dengan Mas Susanto.”

***

Sejak pertemuan keluarga Leha semakin membantu, cintanya pada Mas Susanto tidak dapat diganggut gugat, keyakinannya untuk menikah semakin bulat. Demikian pun halnya Mas Susanto, bukan tentara namanya jika gampang menyerah begitu saja. Dan akhirnya keluarga Leha merestui hubungan mereka untuk menikah, putaran takdir dan perjalan hidup menyatukan cinta mereka berdua dalam ikatan suci tanpa perlu direka-reka, yaitu pernikahan.

Leha memilih untuk menikah di pertengahan bulan November saat hujan tidak pernah absen dalam setiap harinya, tadinya Mas Susanto keberatan, musim hujan tidak baik untuk hajatan, katanya. Tapi Leha bersikukuh, alasannya sederhana, sebab hujan mempunyai arti sendiri baginya. Alhasil pesta pernikahan berlangsung di tengah-tengah guyuran hujan dari siang sampai malam hari. Namun ujungnya Mas Susanto jadi menyukai pilihannya, lebih romantis berbulan madu di musim hujan, cuaca benar berpihak padaku kata Mas Susanto tiga hari setelah pernikahan dengan nakal menggoda di atas ranjang.

Malam itu awal bulan Desember, musim pengujan belum kunjung reda. Mereka berdua masih menikmati masa pengantin baru yang belum genap sebulan. Tidak dapat diceritakan di sini apa yang mereka lakukan disaat hujan dan hawa dingin semacam ini menusuk mereka berdua, hanya orang yang sudah menikahlah yang mengerti.

Bunyi handphone Mas Susanto menyala di antara gelegar petir, merusak kemesraan malam itu, diacuhkan bunyi handphone, tapi sepertinya ada sesuatu yang penting, bunyi pengganggu tersebut terus memohon untuk segera dimatikan dan diganti dengan jawaban. Mas Susanto beranjak malas meraih handphone di sisi ranjang sembari mulutnya merancu merasa terganggu. Tapi air mukanya berubah ketika tahu siapa yang menghubunginya.

“Maaf Pak, baik Pak, laksanakan PAK,” ia hanya mendengar kemudian dengan jawaban-jawaban singkat keluar dari mulutnya menjawab si penelpon.

“Siapa, Mas?” Leha menyerbu ingin tahu.

“Komandan,” jawab Susanto berat.

“Ada perlu apa menelpon malam-malam begini.”

“Aku diperintahkan berangkat ke Aceh.”

“Bukankah kamu baru saja pulang dari Ambon sebulan sebelum pernikahan kita, masa harus berangkat lagi, kamu tega meninggalkan aku dalam kesendirian?” Leha protes menunjukan ketidaksepakatannya.

***

Waktu meluncur dengan begitu pesat. Hujan kini berangsur-angsur reda. Butirannya yang jatuh tinggal beberapa saja. Gumpalan hitam yang tadi menjangkiti angkasa, kini telah menghilang. Langit biru mulai menyeruak. Dari jauh terdengar jelas suara adzan subuh melambung syahdu membangunkan semua penghuni bumi yang sedang bermain dengan bunga tidurnya, gelap mata dan juga gelap akal pikiran.

“Assalamu’alaukum...Leha, Leha, bangun, salat subuh nak.”

“Iya, Bu,” ia menutup mata dan berusaha menyudahi semua lamunannya.

“Leha, apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanya sang ibu dengan penuh kelembutan.

Ia bangkit dari tempat duduknya, sesekali ia membolak-balikan raganya yang terasa pegal. “Tidak Bu,” jawabnya singkat.

“Kau jangan membohongi Ibu nak, Ibu tahu kau sedang memikirkan Susanto, suamimu.”

Leha hanya terdiam mendengar perkataan itu. Ia pun sedih, tiba-tiba matanya berkaca-kaca dan tak terasa airmata tanpa diminta pun jatuh berlinang membasahi matanya yang cekung. Tidak lama kemudian ia berhenti menangis. Matanya agak sembab, dan mukanya yang tirus nampak pucat pasih. Sekali lagi ia tetap diam membisu. Jangankan bicara menoleh pun tidak.

“Sudahlah Leha, Ibu memahami perasanmu. Dan kamu pun harus tahu. Hidup kadang mirip seperti menyelusuri arus aliran sungai. Ada saatnya aliran ini melaui tempat datar penuh keindahan hati pun mengajak bibir untuk tersenyum. Namun, adakalanya aliran ini melewati tanah curam, bebatuan takut dan gelisah menjadi teman. Menyelusuri kehidupan yang berliku-liku, memang mirip seperti menyelusuri arus aliran sungai. Hanya saja arus kehidupan tidak mudah ditabak. Boleh jadi, belum selesai tersenyum mengembang pukulan baru sudah datang,” pesan sang ibu sembari menepuk punggung Leha.

Leha menghela napas panjang. Hanya Ibu yang selalu memberikan kasih sayang yang hangat dan tak basi, cinta yang selalu baru. Cetusnya dalam hati. ***

Tidak ada komentar: