Rabu, 04 Juni 2008

AKU AYAH DAN IBU

Oleh: Zaldy Munir


NAMAKU Puspita. Panggil saja Ita. Aku anak tunggal. Ayah dan ibuku berpisah ketika aku masih kecil. Sekarang, aku sudah remaja, tinggal berdua bersama ibuku.

Ayah dan Ibu sama-sama bertahan nggak mau rujuk. Mereka benar-benar pasangan yang keras kepala. Entah, aku sendiri nggak tahu penyebab mereka berpisah. Meskipun mereka berpisah, keduanya menyayangiku, hingga aku nggak terlalu sedih.

Ibu memiliki toko kelontong di pasar tradisional dekat rumahku. Sesekali ia juga menerima jahitan dari tetangga.

Biar sibuk dengan urusan sekolah, sebisa mungkin aku membantu ibu. Kadang, aku mengantar jahitan yang sudah selesai ke tetangga. Aku bersyukur punya ibu setangguh ibuku.

“Membimbing dan melihat kamu tumbuh makin dewasa, itulah satu-satunya harapan Ibu,” ujar ibu sewaktu-waktu.

Aku makin sayang pada ibu. Tapi, aku juga sayang pada ayah. Ayahku seorang pegawai dengan penghasilan pas-pasan. Dulu, berkali-kali ibu menyuruhnya berhenti bekerja. Tapi, ayah nggak mau. Ia tetap bertahan dengan statusnya sebagai pegawai negeri. Kekerasan ayah inilah yang kurasa menjadi pemicu retaknya hubungan mereka.

“Allah pasti punya rencana terhadap jalan hidup Ayah selanjutnya,” kata ayah tiap akan berangkat kerja dengan sepatu bututnya.

Aku akrab dengan keduanya. Aku nggak pernah meresa minder atau nggak pernah merasa menjadi anak yang berasal dari keluarga broken home. Buatku, betapa tololnya jika seorang anak yang ortunya berpisah, lalu beralih ke narkoba atau hal-hal terlarang lainya. Ortu yang berpisah bukan alasan untuk menjerumuskan diri kita ke jurang kehidupan yang hitam. Masih banyak cara-cara positif yang bisa dilakukan.

Kuakui, di lubuk hati yang terdalam kedua ortuku, ada luka tersembunyi akibat perpisahan itu. Sekali waktu, sempat kulihat ayah menitihkan airmata saat mengantarku pulang. Aku sedih. Nggak tega meninggalkannya sendirian di pondok tuanya di tepi pantai. Tubunya yang rapuh kurasakan saat ia memegang pergelangan tanganku.

“Kenapa Ayah menangis ?” tanyaku serak.

Ayah menggeleng. Dengan ujung baju yang lusuh, ia menghapus air mata.

“Sudahlah. Kamu cepat pulang. Ibumu menunggu di rumah!” pesannya sebelum meninggalkanku di ujung jalan.
“Ayah, jangan nangis lagi. Ita nggak mau melihat Ayah sedih,” ujarku waktu itu.

Aku sering bertanya, apakah persoalan yang mereka hadapi sedemikian besar, hingga mengaburkan rasa cinta yang pernah mereka miliki?

Ahhh, tapi sudahlah, itu urusan orang dewasa. Sebagai anak, aku cuma berdoa dan berharap, pada suatu hari nanti, mereka bisa berkumpul kembali.

Aku ingat, dilain waktu, dengan wajah berseri-seri, ayah bercerita tentang masa kecilku. Dulu, ia pernah membelikan aku sebuah gaun hitam, sekalian sepatunya yang berwarna hitam juga. Tapi, gaun itu kebesaran lalu dirombak oleh ibu sehingga pas. Enak dipakai. Aku senang saat mamakainya. Manari-nari di depan kaca seperti putri raja.

“Ayah sampai melongo, kagum melihat kamu pakai baju itu. Banar-benar cantik. Lucu. Apalagi sekarang, sudah besar, tambah cantik kamu kalau paki baju model begini,” pujinya saat itu.

Aku tersipu dan merajuk padanya. Ayah kemudian meneruskan perkataanya.

“Ayah sengaja pilih warna hitam, karena kulitmu putih, bersih, cocok pakai baju warna gelap, terutama hitam. Ibu kamu juga, kulitnya sama seperti kamu. Pantas pakai baju warna gelap. Betul, kan, Bu?”

Ibu mengangguk sambil tersenyum simpul. Ayah memang paling pintrar kalau memuji orang.

“Baju itu, ya baju itu…” Ayah beranjak dari kursinya. “Sampai sekarang masih ada…”

Aku dan ibu terkesiap mendengarnya. Sekilas, kulihat ayah masuk ke kamar dan keluar membawa baju itu.

Aku dan ibu cercengang melihat gauh hitam itu, benar-benar ada, terpampang di tangannya.

“Ayah!”

Langsung kurenggut, kupuluk erat serta kuciumi dengan penuh haru gaun itu. Seketika teringat kembali masa kecilku. Benar, aku pernah memakinya dulu. Dan, seketika itu pula, ibu merapat padaku. Ingin menikmati juga keindahan baju itu dengan perasaan yang sama.

“Masih bagus…,” gumamnya.

“Hanya tinggal itu satu-satunya kenang-kenangan dari kamu. Pengobat rindu kalau sewaktu-waktu ayah kangan sama kamu,” kata ayah, lirih, sambil berdiri menerawang lewat jendela.

Aku terharu. Perlahan mendekatinya, lalu mencoba melipurnya, sementara gaun itu telah jatuh ke tangan ibu.

“Ayah…ayah jangan ngomong begitu dong. Ita jadi sedih.”

Ayah berbalik. Mengelus kepalaku yang terbalut oleh jilbab. Kemudian membimbingku ke tempat semula.

“Nanti kalau ayah mati, ambilah baju itu.”

“Ayah!”

“Simpan baik-baik. Bisa jadi kenang-kenangan juga buat kamu.”

Aku tambah sedih mendengarnya. Tiba-tiba, ibu tersiak. Mata ayah berkaca-kaca. Dan, tak terasa, airmataku jatuh berlinang.

Suatu hari, ibu mendapat borongan jahitan dari perusahaan besar. Aku dan ibu bekerja keras memenuhi pesanan itu. Ibu memberikan upah sesuai dengan hasil pekerjaanku. Uang yang diberikan ibu kubelikan bahan pakaian untuk dijadikan sebuah gaun hitam. Kubuat sederhana modelnya. Seperti long dres. Biar ibu yang menjahitnya. Pasti bagus dan rapi.

Nanti akan kuperlihatkan pada ayah. Ia kepingin melihatku memakai gaun hitam lagi seperti dulu. Ayah pasti senang dan memujiku. Tapi, sudah seminggu ayah di rawat di rumah sakit. Penyakit jatungnya kambuh lagi. Gawat! Tidak apa-apa. Aku tidak malu ke rumah sakit pakai gaun hitam, demi ayah. Siapa tahu bisa langsung sembuh.

Sore ini, aku dan ibu akan pergi menjenguknya. Entah mengapa. Tiba-tiba langit mendung, awan bergulung-gulung dan angin bertiup menerpa dedaunan. Sehelai daun kering jatuh di ambang pintu. Persis di depanku, ketika aku berdiri menunggu ibu di dalam. Siap berangkat dengan gaun dan sepatu hitam paduannya.

“Pakai jilbab ini, supanya lebih pantas dandananmu,” ibu menutupi kepalaku dengan jilbab, warnanya sama, hitam juga.

Tambah lengkap penampilanku. Serba hitam. Sementara ibu mengenakan setelan kebaya serta jilbab bermotif batik, berwarna coklat kehitaman. Warna-warna gelap kesukaan kami, termasuk ayah. Menurutnya, hitam, lambang kekuatan. Tapi, tidak ditambahkan, hitam, tanda kematian!

“Jilbab ini hadiah dari ayah kamu buat Ibu. Ia beli sekalian baju itu. Ibu dan Ayah sama-sama punya barang kenangan,” cetus ibu sambil membenarkan kaca mata minusnya.

“Ayah kamu orangnya penuh perhatian, sampai ke soal pakaian. Biarpun gajinya kecil. Tapi, kadang-kadang ia membelikan,” sambungnya.

“Itu tandanya sayang keluarga, Bu,” sahutku.

“Yuk, sudah rapih. Anak Ibu memang cakep kayak bidadari,” ibu menarik tanganku.

“Huuu…ibu, bisa saja.”

Dengan bajaj kami berangkat ke rumah sakit. Sampai di sana, ayah nampak segar dan rapi. Ia tercengang menatapku. Melihat gaun hitamku. Menyaksikan segenap penampilanku. Lalu…

“Ayaaah!”

Aku dan ibu saling bertangisan di depan jasad yang sudah tak bernyawa lagi.

“Ayaaah!” Jeritku sedih.

Ibu menundukan kepala. Aku tahu, ada rasa sesal terpancar di mata ibu.

“Semua ini salah Ibu. Seandainya saja kami tidak saling berkeras hati, ayahmu tentu tak akan pergi secepat ini…” kata ibu.

Aku memegang tangan ibu erat-erat.

“Jangan menyesali yang sudah terjadi, Bu. Ayah sudah pergi. Ini sudah takdir sang Ilahi. Dan, Ita nggak mau Ibu sedih terus. Ita nggak mau Ibu pergi meninggalkan Ita juga,” tangisku.

Ibu memelukku dengan penuh kelembutan.

“Tidak Nak, Ibu tidak akan pergi. Ibu harus kuat dalam menghadapi hidup ini. Ibu akan menjagamu. Kelak, jangan ulangi yang ibu dan ayah sudah lakukan. Hidup bahagia dengan keluarga, itulah yang terpenting,” pesan ibu di antara tangisnya.

Aku mengangguk. Kutebarkan bunga melati di makam ayah. Sambil berjalan pulang, aku masih nggak habis mengerti, apakah orang dewasa selalu punya masalah yang nggak bisa disesalkan? Jika kebencian memuncak, apakah kehidupan perkawinan harus selalu berakhir dengan perpisahan? Lalu, di mana kemesraan yang pernah mereka jalin dulu? ***

Ket : Cerpen pernah dimuat di Tabloid Fantasi 497 Tahun Kesepuluh / Minggu Kedua Juli 2003.

DEWI TAK JADI PINDAH SEKOLAH

Oleh : Zaldy Munir


BARU beberapa hari menjadi murid Madrasah Tsanawiyah (MTS) di depan rumahnya, Dewi sudah uring-uringan. Tiap pulang sekolah selalu marah-marah. Sampai-sampai orang rumah, termasuk nenek, dibuat bingung pada sikapnya.
Setelah kakek meninggal sepuluh tahun yang lalu, otomatis yang jadi pemilik rumah tempat Dewi tinggal adalah nenek. Tapi, nenek mempercayakan semuanya pada putranya, Papa Dewi.

Kakek, dulu seorang lurah di desanya. Dia mendirikan sekolah Tsanawiyah. Karena menggunakan biaya sendiri, pembangunan sekolah itu bertahap.

Kakek memang seorang pendidik sejati. Setiap murid yang berkolah di situ tidak dikenakan biaya, gratis. Kebijakan itu sampai sekarang masih berlaku.

Dewi, yang kebetulan bersekolah di sekolah yang didirikan kakeknya itu, merasa tak nyaman.

“Pokoknya, Dewi mau sekolah di negeri. Nggak mau di Tsanawiyah. Dari SD ‘kan Dewi masuk negeri. Kenapa ke SLTP swasta? Di sekolah kakek lagi!” kata Dewi dengan wajah masam.

“Ooo, jadi itu yang membuatmu kesal?” kata mama tenang. “Sudahlah Wi, swasta atau negeri sama saja, yang penting kamu bisa sekolah,” lanjutnya.

Ucapan mamanya tidak membuat kekesalan Dewi reda. Tiap pulang sekolah, masih saja dia megeluh. Bahkan, saat disuruh makan siang, dia tidak mau.

“Pokoknya, Dewi nggak mau sekolah di situ lagi. Bangunannya nggak bagus, kuno, ketinggalan jaman, kampungan. Anak laki-lakinya nakal-nakal lagi. Itu yang namanya Didi dan Junet, kemarin main lempar-lempar batu. Hampir saja mengenai mata Dewi!” gerutu Dewi lagi.

Mama dan nenek yang mendengar kekesalan Dewi menarik nafas panjang. Nenek mengurut dada. Pikirannya, anak zaman sekarang memang susah diatur. Kalau sudah maunya, susah ditentang.

“Wi, dengan memasuki sekolah yang didirikan Kakekmu, itu artinya, kamu ikut mempromosikan sekolah itu juga. Orang-orang ‘kan mengatakan, tuh cucunya Pak Burhan saja sekolah di situ!” jelas nenek, seraya sambil membetulkan kaca mata minusnya.

“Habis, bangunan sekolahnya, nggak bagus, kuno, ketinggalan jaman, kampungan,” kata Dewi tak mau kalah.

Esoknya, nenek menelepon paman Dewi yang tinggal di luar kota. Mereka diminta mengumpulkan uang untuk biaya perbaikan sekolah.

Upaya nenek membuahkan hasil. Setelah dana terkumpul, sekolah itu direnovasi. Tembok yang sudah kumal dicat kembali. Kayu-kayu yang keropos diganti. Begitu pula kursi dan mejanya, yang sudah rusak diganti dengan yang baru.

Suatu hari Fitri, teman sekelas Dewi, datang ke rumahnya dengan air mata bercucuran. Fitri semula berjanji akan keluar dari sekolah itu. Fitri dan Dewi berniat pindah ke sekolah lain yang lebih keren.

“Kenapa, Fit? Kok, kamu nangis ?” tanya Dewi.

“Aku tidak jadi pindah, Wi. Ibuku meninggal dua hari yang lalu….,” tangis Fitri meledak.

Dewi tertegun. Dengan suara serak, dia menghibur sahabatnya itu.

“Sudahlah. Kalau kamu tidak jadi pindah sekolah, aku juga tidak. Sekolah di Tsanawiyah, negeri atau swasta sama saja. Yang terpenting kita bisa belajar dengan tenang!”

Mama dan nenek yang mendengar ucapan Dewi saling pandang. Keesokan harinya, uang pendaftaran Fitri dikembalikan Papa Dewi. Fitri dan keluarganya berterima kasih sekali atas kebaikan Papa Dewi.

Tidak hanya itu. Teman Dewi yang bernama Soleh, Mahmud juga dibebaskan dari uang pendaftaran. Melihat yang dilakukan papanya, perlahan, rasa bangga tumbuh di hati Dewi. Sekarang, aku tidak malu lagi bersekolah di sekolah yang didirikan kakekku. Bisiknya dalam hati. ***

Ket : Cerpen ini pernah dimuat di Tabloid Fantasi 438 Tahun Kesembilan / Minggu Kedua Mei 2002).