Minggu, 27 April 2008

UNTAIAN KASIH

Oleh: Zaldy Munir


MALAM bertambah pekat disiram hujan yang tak berkesudahan, diselingi kilat yang bersambung dengan gemuruh halilintar, bak gempa yang beruntun. Angin bertuip kencang menderu-deru, membuat dahan-dahan bergoyang ngebor dan menimbulkan gemerisik ketika daun-daun bergesekan. Hanya derai air di atap rumah, di daun-daun, dan di selokan sampah bertumpah ruah berlarian ke mana-mana, berwarna gelap dan beraroma bau.

Suara tidur dalam sunyi, raga bersembunyi di balik selimut mencari kehangatan. Semua terlelap dalam hipnotis hujan. Malam sudah dua pertiga dan suasana semakin khidmat dalam ritme irama hujan. Hanya mata-mata yang penuh gairah rindu tetap terjaga dengan bibir basah mengeja doa. Dan jiwa yang selalu gelisah di tepian jendela.

Leha, meratap di tepi jendela kaca yang menghadap ke jalan, berkali-kali diusap embun yang menyelimuti kaca dengan jari-jari tangannya yang lentik. Keringat bersimbah di wajah mengucur deras meski suasana malam itu terasa dingin mengigit. Ada segumpal rindu yang membuncah dikala hujan, ada gejolak rasa yang tertahan saat dingin menusuk, ada berbagai ratapan berkepanjangan. Memori-memori masa silam saling berkelabat, membentuk nostalgia, berromantisme, lalu menjelma menjadi luka di hati.

Di tepi jalan berjejer pohon-pohon flamboyan, bak segerombolan raksasa kedinginan. Tapi, tatapannya tidak jelas ditunjukan kepada siapa? Pada derai hujankah, pada jalanan sepi, atau memang ia tidak pernah sungguh-sunguh menatap, hanya tatapan kosong dari hati yang sepi pasti diakhiri oleh airmata. Entahlah, tanyakan saja padanya atau pada hujan yang selalu membuatnya berlama-lama duduk di tepian jendela. Hujan selalu mengiringi fase-fase terpenting dalam perjalanan hidupnya.

Ia dilahirkan kala hujan sedang deras-derasnya demikian kisah yang dituturkan oleh sang ibu, dan disaat hujan pula sang ayah meninggal kala usianya menginjak kelas enam sekolah dasar. Dan hujan pula yang mempertemukan untuk pertama kalinya dengan Mas Susanto saat mereka berdua berteduh di sudut halte. Air hujan menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka berdua. Leha tentu tidak dapat melupakan hujan yang mempersatukan hatinya dengan Mas Susanto.

Leha, sorang perawan desa. Wajahnya yang cantik, tapi tak secantik bidadari. Kulitnya yang putih, tapi tak seputih susu. Tubuhnya yang langsing, tapi tak selangsing tiang listrik jauh dari kata seksi. Senyumnya yang manis, semanis madu cinta. Dan ia selalu tampil apa adanya, sederhana, dan sangat bersahaja. Hal itulah yang membuatnya berbeda dengan wanita-wanita yang lain, yang senantiasa tampil seksi, mewah, dan gelamor. Mas Susanto sendiri tak tahu mengapa bila didekatnya merasa tentram, ia merasa menemukan sesuatu yang teramat murni dan jujur dari sikap dan kata-katanya. Kemanjaan dan ketegasannya keluar dengan wajar dari kuncup hatinya.

Pandangannya yang penuh yakin talah menjerat hati Mas Susanto, ia katakan dalam hati, kaulah wanita yang akan melahirkan anak-anakku. Hal itulah yang membuatnya langcang menawarkan hidup untuk ditemani.

“Leha, masih kuingat jelas dimemoriku, saat pertama kita bersua, wajahmu yang memerah dalam ranum kemanjaan sedang menyambutku. Wajahmu yang bersih terpancar ketengan, kedamaian serta kelembutan. Wajahmu yang ayu, wajahmu yang bening terbalut dengan jilbab dan wajahmu selalu menghangatkan kolbuku dalam kesedihan. Senyummu yang tanpa polesan seperti mengguncang jantungku,” ucapnya sebelum melamar Leha.

Mata Mas Susanto menerawang, menatap langit-langit lalu kembali turun. Ia terdiam sejenak, lantas ia berkata. “Leha, ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu...sesuatu yang belum pernah aku katakan kepada wanita lain...sesuatu yang belum pernah aku katakan kepada semua wanita...sesuatu yang belum pernah aku katakan kepada wanita siapa pun. Jikalau engkau memang diciptakan untukku ke mana pun kau berlari tujuannya adalah aku. Apakah purnama di atas telaga sama dengan purnama di langit sana? Jikalau memang kau milikku ke mana lagi tempatmu mengadu cinta dan rindu. Leha...aku sayang kamu, maukah engkau menjadi istriku? Seperti mimpi yang kutawarkan pada lautan dan senja dahulu.” Mas Susanto malamarnya dengan penuh kesungguhan dan kejantanan sebagai seoarang lelaki.

Selesai ia mengungkapkan seluruh hatinya. Leha pun bungkam dengan seribu kata-kata. Jangankan bicara menoleh pun tidak. Mas Susanto sendiri pasang muka heran campur cemas saat melihat wajah Leha. Namun, perlahan tapi pasti Leha membuka mulutnya, dengan nada berat ia berkata.

“Jikalau memang putaran takdir mempersatukan kita aku tak kuasa menolak, lebih baik kita lalui irama nasib dengan bahagia dan senyuman, biarkan saja semua mengalir tanpa perlu direka-reka, seperti juga hujan berhenti dengan sendirinya ketika air dilangit tandas,” ujar Leha menjawab pinangan Mas Susanto. Tawaran yang disambut angguk malu-malu. Anggukan yang membuat hidup Mas Susanto penuh arti. Begitu awal dari kisah perjalanan cinta mereka yang tak seindah mereka sangka.

***

”Menjadi istri tentara, apa kamu tidak salah?” Pertannyaan ibu urung membuat gelisah dan ketidakmengertian di hati Leha, bukankah mempunyai menantu tentara merupakan suatu kehormatan tersendiri sebab berarti anak perempuan semata wayangnya mempunyai masa depan yang jelas, setidaknya itu yang ia ketahui dari kawan-kawannya.

“Kalau pangkatnya Perwira mungkin akan lebih bagus, tapi Susanto itu hanya prajurit,” lanjutnya, kini Leha mengerti maksud ibu ke mana arahnya.

“Prajurit itu gajinya kecil, tidak ada objeknya, seperti polisi lalu lintas,” sambung Bulek Sari mengamini ucapan itu. Ah, wanita satu ini memang selalu memikirkan harta, wajar jika ia sampai kawin cerai sebanyak tiga kali dan saat ini ia sedang menjanda karena suami-suaminya tidak mampu memenuhi hasrat konsumerismenya yang tinggi. Jawab Leha membatin.

“Aku bisa berdamai dengan kemiskinan,” Leha mencoba membela diri.

“Bagaimana mungkin kamu bisa berdamai dengan kemiskinan sedangkan kamu tidak pernah sungguh-sungguh berkelahi menaklukan kemiskinan, selama ini kamu selalu dimanjakan, kebutuhanmu selalu tercukupi, kamu bahkan tidak pernah merasa bagaimana susahnya mencari uang,” Bulek Sari memberondong Leha dengan kata-kata yang tak mampu membuatnya menjawab. Ia menunduk dan menatapi lantai marmer rumahnya yang berwarna putih. Ketika ia mendengar penjelasan Bulek Sari, ingin sekai rasanya ia merobek mulut wanita yang satu ini, yang selalu memojoki dirinya. Dan ia pun merasakan di dirinya sebagai sorang terdakwa yang sedang diadili di tengah-tengah keluarga besarnya. Sudah menjadi adat keluarga jawa yang memutuskan perihal jodoh, harus melewati kesepakatan keluarga besar, dilihat dari bibit, bebet, dan bobotnya sebab katanya menyangkut masa depan harga diri mertabat keluarga.

“Jadi istri prajurit itu harus kuat fisik dan mental, sebab didikan tentara itu keras,” kini Pakde Yamin yang angkat bicara.

“Tapi selama ini Mas Susanto sangat sayang padaku, sikapnya lembut, penuh cinta, jangankan bertindak kasar, membentak, apalagi melototi aku pun Mas Susanto tidak pernah, aku malah merasa aman di sisinya.”

“Itu karena kalian masih pacaran, jadi segala sesuatunya tampak indah, pacaran itu realitas manipu dan penuh dengan kebohongan. Nanti jika kamu sudah menikah baru akan terlihat tabiat aslinya, banyak sekali contohnya,” sambung Pakde Yamin.

“Istri tentara harus siap ditinggal dinas untuk menuaikan tugas negara kapan saja, kuat melawan kesendirian, kesepian dan yang terpenting siap jadi janda, mengingat pangkat Susanto itu hanya prajurit yang pasti ada di barisan depan ketika perang melawan pemberontak atau musuh negara lainnya, itu yang meski kamu pikirkan lebih mendalam,” Pakde Wartono menimpali dengan nada pelan penuh kasih sayang.

“Aku sudah pikirkan semuanya dan aku mengambil keputusan harus menikah dengan Mas Susanto apa pun risikonya akan aku hadapi,” Leha menjawab semua kata-kata para sesepuhnya seolah ingin mengakhiri pertemuan keluarga dengan rasa optimis tinggi walaupun perkataan Pakde Wartono yang terakhir cukup membuat hatinya gelisah.

“Kamu tidak pernah tahu bila akan jatuh cinta. Namun, apabila sampai saatnya itu raihlah dengan kedua tanganmu dan jangan biarkan ia pergi dengan sejuta rasa tanda dan tanya di hatinya. Leha, kalau memang itu keputusanmu untuk menikah dengan Susanto, doa Ibu selalu menyertaimu, kebahagiaan akan selalu memayungimu setiap langkahmu. Berjuta kilau bintang di langit akan selalu menghiyasi kehidupanmu. Sejuk dan tenangnya air akan selalu berada pada hati dan pikiranmu. Indahnya sinar rembulan akan selalu menghiyasi sunyum manismu,” tutur sang ibu yang memberikan renstu pernikahan mereka berdua.

Leha pun tersenyum sambil memandang sang ibu yang kini sudah berusia enam puluh dua tahun. Rambut hitamnya yang memutih diatur rapi. Matanya yang jenuh dan mukanya berkerut karena usianya. Kerutan wajahnya mencerminkan kelelahan. Bahunya yang dahulu tegak kini terbungkuk. Urat-urat nadi yang terpilih di otot tanganya mulai keriput. Ibu Sasmanti, betapa sudah terlalu rentan diusianya yang makin menua.

“Leha, apa yang sedang kamu pikirkan.”

“Tidak, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karen Ibu telah merestui pernikahanku dengan Mas Susanto.”

***

Sejak pertemuan keluarga Leha semakin membantu, cintanya pada Mas Susanto tidak dapat diganggut gugat, keyakinannya untuk menikah semakin bulat. Demikian pun halnya Mas Susanto, bukan tentara namanya jika gampang menyerah begitu saja. Dan akhirnya keluarga Leha merestui hubungan mereka untuk menikah, putaran takdir dan perjalan hidup menyatukan cinta mereka berdua dalam ikatan suci tanpa perlu direka-reka, yaitu pernikahan.

Leha memilih untuk menikah di pertengahan bulan November saat hujan tidak pernah absen dalam setiap harinya, tadinya Mas Susanto keberatan, musim hujan tidak baik untuk hajatan, katanya. Tapi Leha bersikukuh, alasannya sederhana, sebab hujan mempunyai arti sendiri baginya. Alhasil pesta pernikahan berlangsung di tengah-tengah guyuran hujan dari siang sampai malam hari. Namun ujungnya Mas Susanto jadi menyukai pilihannya, lebih romantis berbulan madu di musim hujan, cuaca benar berpihak padaku kata Mas Susanto tiga hari setelah pernikahan dengan nakal menggoda di atas ranjang.

Malam itu awal bulan Desember, musim pengujan belum kunjung reda. Mereka berdua masih menikmati masa pengantin baru yang belum genap sebulan. Tidak dapat diceritakan di sini apa yang mereka lakukan disaat hujan dan hawa dingin semacam ini menusuk mereka berdua, hanya orang yang sudah menikahlah yang mengerti.

Bunyi handphone Mas Susanto menyala di antara gelegar petir, merusak kemesraan malam itu, diacuhkan bunyi handphone, tapi sepertinya ada sesuatu yang penting, bunyi pengganggu tersebut terus memohon untuk segera dimatikan dan diganti dengan jawaban. Mas Susanto beranjak malas meraih handphone di sisi ranjang sembari mulutnya merancu merasa terganggu. Tapi air mukanya berubah ketika tahu siapa yang menghubunginya.

“Maaf Pak, baik Pak, laksanakan PAK,” ia hanya mendengar kemudian dengan jawaban-jawaban singkat keluar dari mulutnya menjawab si penelpon.

“Siapa, Mas?” Leha menyerbu ingin tahu.

“Komandan,” jawab Susanto berat.

“Ada perlu apa menelpon malam-malam begini.”

“Aku diperintahkan berangkat ke Aceh.”

“Bukankah kamu baru saja pulang dari Ambon sebulan sebelum pernikahan kita, masa harus berangkat lagi, kamu tega meninggalkan aku dalam kesendirian?” Leha protes menunjukan ketidaksepakatannya.

***

Waktu meluncur dengan begitu pesat. Hujan kini berangsur-angsur reda. Butirannya yang jatuh tinggal beberapa saja. Gumpalan hitam yang tadi menjangkiti angkasa, kini telah menghilang. Langit biru mulai menyeruak. Dari jauh terdengar jelas suara adzan subuh melambung syahdu membangunkan semua penghuni bumi yang sedang bermain dengan bunga tidurnya, gelap mata dan juga gelap akal pikiran.

“Assalamu’alaukum...Leha, Leha, bangun, salat subuh nak.”

“Iya, Bu,” ia menutup mata dan berusaha menyudahi semua lamunannya.

“Leha, apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanya sang ibu dengan penuh kelembutan.

Ia bangkit dari tempat duduknya, sesekali ia membolak-balikan raganya yang terasa pegal. “Tidak Bu,” jawabnya singkat.

“Kau jangan membohongi Ibu nak, Ibu tahu kau sedang memikirkan Susanto, suamimu.”

Leha hanya terdiam mendengar perkataan itu. Ia pun sedih, tiba-tiba matanya berkaca-kaca dan tak terasa airmata tanpa diminta pun jatuh berlinang membasahi matanya yang cekung. Tidak lama kemudian ia berhenti menangis. Matanya agak sembab, dan mukanya yang tirus nampak pucat pasih. Sekali lagi ia tetap diam membisu. Jangankan bicara menoleh pun tidak.

“Sudahlah Leha, Ibu memahami perasanmu. Dan kamu pun harus tahu. Hidup kadang mirip seperti menyelusuri arus aliran sungai. Ada saatnya aliran ini melaui tempat datar penuh keindahan hati pun mengajak bibir untuk tersenyum. Namun, adakalanya aliran ini melewati tanah curam, bebatuan takut dan gelisah menjadi teman. Menyelusuri kehidupan yang berliku-liku, memang mirip seperti menyelusuri arus aliran sungai. Hanya saja arus kehidupan tidak mudah ditabak. Boleh jadi, belum selesai tersenyum mengembang pukulan baru sudah datang,” pesan sang ibu sembari menepuk punggung Leha.

Leha menghela napas panjang. Hanya Ibu yang selalu memberikan kasih sayang yang hangat dan tak basi, cinta yang selalu baru. Cetusnya dalam hati. ***

Jumat, 25 April 2008

SI GIMBAL DAN SI BOTAK

Oleh Zaldy Munir


ANAK kecil berusia enam dan lima tahun itu mungkin sering lewat di depan rumah Rere. Melihatnya pun barangkali Rere pernah, tapi dia tidak memperhatikannya. Sejak pindah rumah ke perumahan cukup padat ini dua bulan yang lalu. Memang tidak banyak yang dikenal Rere, kecuali tetangga dekatnya yang sering membeli sayur.

Rere baru memperhatikan dua anak kecil itu ketika dia sedang memasak, pintu belakangnya ada yang mengetuk dan suara cempreng melengking, “Sampah!” Rere membuka pintu dan di hadapannya dua anak kecil dengan baju kotor berdiri. Yang lelaki menunduk melihat-lihat seputar kakinya yang telanjang tanpa alas kaki. Yang perempuan malu-malu menatap Rere.

“Ada apa ?” tanya Rere.

“Ada sampah, Tante? Nanti kami buangin.”

Rere melihat ke bawah kompor, dekat tabung gas, ada dua kantong plastik yang sudah penuh sampah. Sepengetahaun Rere, di perumahan ini tukang sampah memang tidak jelas jadwalnya. Kadang seminggu tidak datang, sehingga sampah menumpuk. Maka bila tukang sampah datang, para ibu kompak ngomel, sedangkan tukang sampah cuma nyengir. Rere mengambil dua kantong plastik sampah dan menyerahkannya kepada kedua anak kecil itu.

“Buangnya di mana?”

“Di depan, Tante, di tempat sampah pinggir jalan.”

Kedua anak kecil itu tidak beranjak. Mereka duduk, saling melihat. Rere mengerti, mungkin mereka minta upah. “Nanti ke sini lagi, ya?” kata Rere. Dua anak kecil itu tersenyum, lalu berlari saling mendahului.

Lima belas menit kemudian kedua anak kecil itu datang lagi. Mereka berdiri di depan pintu. Yang lelaki selalu menunduk, melihat-lihat seputar kakinya, lalu tersenyum malu saat ketahuan mencoba melihat Rere. Yang perempuan seperti tidak tentram berdiri, karena Rere belum juga memberi upah.

“Kamu berdua sudah pada makan, belum?” tanya Rere. Yang perempuan menunduk, tidak mau melihat Rere. Yang lelaki mendongak tersenyum lebar, kemudian melihat-lihat lagi seputar kakinya. Rere menuntun yang perempuan, yang lelaki mengikuti. “Ayo masuk. Cuci tangan di keran itu, lalu duduk di kursi itu. Tante akan bawakan nasi.”

Karena yang mateng baru sayur kacang. Rere mambuat dua telur ceplok. Sesekali dilihatnya kedua anak kecil itu berebutan cuci tangan. Setelah membalikkan telor, Rere melihat mereka duduk di lantai. “Kok, duduknya di lantai, sih. Duduknya di atas saja, di kursi.”

Kedua anak itu tersenyum, saling memandang, menunduk, tapi tidak beranjak. Rere menuntun yang perempuan dan mendudukannya di kursi. Yang lelaki mengikuti. Mereka duduk di pinggir kursi, seolah takut kursi itu akan rusak oleh pantatnya.

Ketika Rere memberikan nasi, keduanya tidak segera memakannya. Yang lelaki tenggorokannya turun naik, sesekali mengintip nasi yang disimpan di meja. Yang perempuan menginjak kaki adiknya.

“Ayo makan, mumpung masih hangat,” kata Rere.

Mereka malu-malu mengambil piring. Tapi begitu piring sudah di dapannya, mereka langsung melahapnya. Karena sayur kacang masih panas, lidah mereka sibuk mengepor-oper makanan, mulut mereka sesekali meniup, lalu tersenyum melihat Rere. “Mau tambah lagi?” tanya Rere ketika dilihatnya dua piring sudah bersih.

“Tidak Tante, sudah kenyang. Terima kasih. Tiga hari lagi kami ke sini, siapa tahu sampah di sini sudah penuh. Kami pulang,” kata yang perempuan. Dia mundur dan keluar pintu. Yang lelaki mengikuti sambil tersenyum kearah Rere. Setelah ada di luar mereka berlari, tapi tidak begitu kencang, mungkin karena kekenyangan.

Begitu awal mereka berkenalan. Selanjutnya Rere bayak tahu dari tetangganya bahwa kedua anak itu memang sudah biasa keliling perumahan, menjadi tukang sampah swasta, begitu ibu-ibu menyebutnya, atau disuruh ini itu. “Tapi sekarang sudah jarang yang membuang sampahnya. Maklum. Lagi susah begini, memberi lima ratus perak juga berat, apalagi memberi dua piring nasi. Mendingan ditumpuk sebentar, menunggu tukang sampah Pemda meski tidak jelas kedatangannya,“ Kata seorang ibu. Rere tersenyum.

Ibu-ibu biasa memanggil anak yang perempuan dengan sebutan si gimbal, karena rambut anak itu memang gimbal, kotor. Dan yang lelaki biasa dipanggil si botak, karena rambutnya memang ducukur habis. Tapi ibu-ibu tidak ada yang tahu di mana si gimbal dan si botak tinggal, sekolah atau tidak, siapa orang tuanya, dan seterusnya.

Berbeda dengan ibu-ibu yang lebih suka menungu tukang sampah Pemda. Rere malah tidak memberikan sampahnya ketika gerobak kuning itu tiba. Rere lebih suka menunggu kedua anak kecil itu, si gimbal dan si botak. Menunggunya ketika mereka makan, atau malah makan bersama. Rasanya nasi jadi lebih enak ketika makan sambil melihat kedua anak itu melahap nasi begitu tergesa, tersenyum malu, sesekali matanya terpenjam karena kapanasan atau kepedasan.

“Nama gimbal sebenarnya siapa?” tanya Rere sekali waktu, setelah mereka makan bersama.

“Emak dan tetangga di sana biasa memanggil Nyai, dan adik saya, si botak ini, Asep namannya. Tapi orang-orang di sini tidak pernah menanyakan nama, sih,” kata Nyai seperti yang menyesali.

“Makanya harus rajin mandi, keramas, biar tidak disebut gimbal.”

Asep tertawa dan bercerita, dia pernah sekali keramas dengan sebungkus sampo yang ditemukannya di kamar mandi masjid. Lalu mereka pun bercerita tentang Emaknya yang bekerja di warteg, mencuci piring-piring kotor. Rumah kontrakannya yang berukuran meja pimpong, Ibu pemilik rumah yang sering marah-marah. Cita-cita mereka untuk sekolah dan belajar nyanyi, bapak yang tidak pernah mereka kenal yang kata Emak pergi jauh, sekali.

“Enak dong kalau Emak kerja di warteg, setiap hari dibawakan makanan.”

“Ah...paling masak tempe. Enakan masakan Tante, banyak dan geratis lagi,” kata Asep sambil tertawa.

“Eh, memangnya Nyai sama Asep mau sekolah?”

“Mau sekali. Saya mau belajar nyanyi biar nanti bisa bergabung dengan group dangdut Bang Ucok. Kata Bang Ucok suara saya bagus,” kata Nyai berapi-api.

“Kalau saya mau belajar menggambar, Tante. Biar nanti semua rumah digambari sama Asep. Kalau rumah penuh gambar, maling ‘kan, takut. Gambaran bikinan Asep ‘kan bisa bergerak seperti di televisi.”

Rere tertawa mendengarnya. Itulah saat-saat yang membahagiakannya. Begitu mereka pulang dan Rere memandangnya sampai mereka hilang di belokan, selalu ada perasaan getir. Semestinya Nyai dan Asep memang sekolah, bukan berkeliling membantu membuang sampah atau disuruh ini dan itu.

Ketika Rere bercerita tentang kedua anak itu kepada Mas Andi, suaminya itu malah menertawakan. Katanya Rere terlalu perasa karena berjuta-juta anak seperti itu hidup di kota ini. Kebutuhan mendesak mereka untuk mencari kerja, tidak untuk sekolah. Banyak yayasan yang membuka ruang belajar bagi mereka, tapi nyatanya mereka tidak menganggap belajar itu pentingan. Mereka mesti dibujuk-bujuk atau diiming-iming sesuatu yang menguntungkan, baru mereka mau belajar.

“Nyai dan Asep lain, Mas. Mereka tidak hidup di jalanan.”

“Itu hanya lamunanmu saja, sayang. Mereka ke sini tiga hari sekali. Kamu pikir hari-hari selebihnya dihabiskan di mana?” Mas Andi mengusap-ngusap rambut Rere lalu mencium keningnya. “Barang kali itu pertanda, sebentar lagi kita akan punya anak.”

Rere tersenyum getir, tapi kemudian memeluk erat suaminya ketika tiba-tiba Mas Andi memangku dan membawanya ke kemar.

Sekali waktu Nyai berceritra bahwa dia mungkin akan pindah bersama Asep dan Emaknya. Ibu pemilik rumah berkali-kali datang dan hendak mengusir karena Emak Nyai sudah empat bulan tidak membayar kontrakan.

“Terus pindah ke mana Nyai?”

“Entahlah, Tante. Mungkin kami bekerja lagi seperti dulu,” kata Nyai dengan suara semakin pelan.

“Bekerja apa?” Nyai menunduk, tidak menjawab.

Waktu itu Nyai yang datang sendirian. “Asep mengantar Emak ke rumah saudaranya, mencari pinjaman uang,” tidak lama ada di rumah Rere. Dia tidak bersemangat bercerita. Ketika Rere memberinya uang lima ribu, Nyai berkali-kali mengucapkan terima kasih. Sorenya Asep datang sendirian. “Tante saya baru pulang mengantar Emak,” Rere mengajaknya masuk, tapi Asep tidak mau.

“Ada apa?” tanya Rere sambil berjongkok, biar mereka sejajar.

Asep menunduk, memonyongkan mulutnya, melihat-lihat sekitar kakinya yang memakai sendal jepit pemberian Rere beberapa waktu yang lalu. Rere menunggunya. Setelah lama ia baru bicara. “Asep hanya ingin bilang, Tante orang paling baik sedunia. Asep ingin memberikan ini,” katanya sambil mengeluarkan lipatan kertas dari sakunya. Rere menerimanya dengan perasaan bergetar. Belum sampai Rere melihat isi kertas itu, Asep berlari. Berlari dan rerus berlari meski Rere berkali-kali memanggilnya.

Lipatan kertas itu dibuka Rere perlahan. Di dalamnya ada gambar tiga orang sedang makan, sabil tertawa di meja. Dua berbadan kecil, mungkin anak-anak, seorang lagi berbadan lebih besar. Memandang gambar dari krayon itu. Lama-lama Rere merasa dibawa kembali ke masa lalu, dengan kedua anak itu makan bersama. Mereka bercerita dengan semangat, mengatakan keinginannya, dan mengerjakan apa pun yang diperintahkan Rere dengan segera.

Tak terasa cairan bening membasahi pipinya. Rere menangis mengingatnya, terngiang kembali kata-kata Asep, anak kecil botak itu. “Tante adalah orang paling baik sedunia.” Ah..., orang baik apanya? Menolong mereka pun Rere merasa tidak mampu. Tapi barangkali bagi anak seperti Asep dan Nyai, pengakuan dan kebersahabatan yang pernah diberikan Rere adalah hal istimewa yang sudah lama tidak didapatkan dari siapa pun.

Rere merapikan gambar itu, menyimpannya perlahan di album seolah sedang menyimpan hadiah paling berharga yang pernah diterimanya. Sejak itu, Nyai dan Asep tidak lagi datang ke rumah Rere. Rere pernah mancarinya, menanyakan ketetangga-tetangganya, tapi tidak ada yang tahu. Mereka malah meresa aneh mengapa Rere begitu antusias menanyakan si Gimbal dan si Botak.

“Masalah sampah gampang saja, Jeng. Tumpuk saja di sudut, nanti juga begitu gerobak sampah datang, keangkut semuanya,” kata seorang ibu. Rere tersenyum getir menanggapinya.

Maka begitu gembira Rere ketika hari itu melihat Nyai dan Asep di depan stasiun Senen. Dari jauh dia sudah menduga, anak perempuan berambut gimbal itu pasti Nyai dan anak lelaki berkepala botak itu pasti Asep. Dipercepat langkahnya. Begitu dekat, Rere tidak ragu bahwa itu Nyai dan Asep, meski baju dan tubuh mereka lebih kotor dari hari-hari biasanya, di tangan mereka ada gelas pelastik bekas air mineral yang di pegangnya kuat-kuat..

“Nyai, Asep, sedang apa? Masih ingat sama Tante?”

Kedua anak itu terkejut, keduanya saling memandang setelah melihat Rere, lalu berdiri dan berlari. Rere berteriak memanggil mereka, tapi anak-anak itu tidak menghiraukannya. Berkali-kali Rere manarik napas panjang. Rere ingat kata Nyai, mungkin bekerja seperti dulu lagi. Mungkin mengemis inilah pekerjaan yang dulu itu. Tapi kenapa mereka masti lari?

Dengan gontai Rere meninggalkan stasiun Senen. Dari balik tukang koran, dua anak itu mamperhatikannya. Mulut anak yang lelaki berkali-kali membuka, ingin berteriak memanggilnya. Tapi dia ingat pesan Emaknya. “Jangan pernah lagi kamu datang ke rumah Tante itu. Malu. Kita sekarang sudah jadi pengemis...” ***

MAAFKAN AKU NEK

Oleh: Zaldy Munir


NYONYA Andini Fitria Lestari Afriyanti, seuntai nama yang cantik, secantik orangnya. Penampilannya sangat menawan dan mungkin orang tidak akan menyangka bahwa ia seorang ibu dua anak yang telah beranjak dewasa. Wajahnya seperti wanita yang baru berusia dua puluh tahun. Padahal boleh percaya boleh tidak, usianya kini sudah empat puluh tahun. Sungguh beruntung Wilman Saputra mendapatkannya.

Mereka berdua adalah pengusaha restoran nasi gorong yang sangat sukses di kota ini. Usaha ini mereka rintis selepas menamatkan kuliah mereka. Dengan modal seadanya dan berbekal kepandaian mamasak dari Andini dan ibu Wilman juga ditambah dengan keandalan Wilman dibidang marketing, usaha ini dengan cepat mengalami kemajuan. Saat ini, tidak kurang dari lima cabang yang telah mereka miliki di kota ini.

Andini memasuki ruang kerja iparnya dengan langkah tergesa-gesa. Entah apa yang akan dibicarakan Novi dengannya hari ini. Firsatnya mengatakan, ada berita yang tidak baik yang akan disampaikan kepadanya. Sebelumnya, Novi tidak biasa memanggilnya untuk bicara berdua saja.

“Assalamu’alaikum, Mbak!”

“Wa’alaikum salam, duduk, An. Kamu sendiri atau ditemani suamimu?”

“Sendiri, Wilman ada pertemuan dengan rekan bisnis kami hari ini. Tampaknya ada hal penting yang akan Mbak bicarakan?”

“Ehm...sebenarnya aku tidak enak membicarakan hal ini denganmu. Mungkin akan membuatmu tersinggung. Namun, kalau aku membicarakannya dengan suamimu, akibatnya mungkin lebih fatal lagi. Jadi, lebih baik aku berterus terang padamu saja,” Novi menarik napas kemudian malanjutkan bicaranya.

“Selama ini kita selalu terbuka satu sama lain. Baik atau buruk kita selalu saling mengingatkan, bukan? Ini menyangkut Ibu, An.”

“Ada apa dengan Ibu, Mbak? Aku pikir Ibu baik-baik saja dan beliau tidak pernah mengeluh pada kami. Malah minggu lalu, hasil pemeriksaan kesehatannya menunjukkan hasil yang sangat memuaskan. Aku sendiri, kok, yang mengantarkannya ke rumah sakit,” nada suara Andini terdengar sangat khawatir. Ia sangat takut jika terjadi sesuatu dengan mertua perempuannya yang sudah dianggap sebagai pengganti ibunya yang telah lama meninggal. Kalau bukan karena bantuan ibu mertuanya, mungkin dia tidak akan sukses ini. Ia bisa tenang mengurus bisnisnya tanpa khawatir anak-anaknya. Selama Wilman dan Andini di kantor, ibu mertuanyalah yang selalu mengurusi kebutuhan anak mereka.

“Hal ini tidak menyangkut kesehatan Ibu. Namun, labih menyengkut perasaan dan harga diri Ibu sebagai orang tua.”

“Astaghfirullah! Apa lagi ini?” Firasat Andini semakin buruk saja. Apakah ia secara tidak sengaja telah menyakiti perasaan orang yang sangat dikasihinya itu?

“Sebenarnya Ibu melarang aku untuk membicarakan ini denganmu ataupun dengan Wilman. Namun, sebagai kakak, aku merasa berkewajiban untuk memberitahukan hal ini meskipun mungkin akan sedikit mancampuri urusan rumah tangga kalian. Aku harap, kamu tidak tersinggung, An”

“Tentu saja aku akan berusaha menerimanya dengan lapang dada. Jika aku salah, sebelumnya aku minta maaf, Mbak!”

“Begini, An. Minggu lalu terjadi peristiwa yang tidak mengenakkan antara Heru dengan Ibu. Ibu manasehati Heru agar tidak membawa kawan wanitanya masuk ke dalam kamar. Meskipun pintu kamar itu terbuka, hal itu tidak etis bila dilihat dari kacamata kita sebagai orang timur. Entah bagaimana Ibu menegurnya, Heru sampai meludah di depan Ibu. Meskipun tidak menganai Ibu, hal itu membuat Ibu merasa sangat tidak dihargai lagi, sebagai orang tua.”

“Astaghfirullah! Heru melakukan hal seperti itu, Mbak? Aa...aku rasanya tidak bisa percaya,” ujar Andini tergagap sambil meremas-remas tangannya. Keringatnya mengucur deras. Entah berwarna apa mukanya saat itu. Peristiwa itu merupakan tamparan keras di wajahnya.

“An, kamu tidak akan menuduh Ibu mengarang cerita ini, bukan?”

“Tentu saja tidak Mbak. Aku tidak habis pikir, mengapa Heru tega melakukan hal seperti itu pada Neneknya. Setan apa yang telah merasuki jiwanya? Aduh Mbak, aku sangat malu!”

“Aku tidak ingin menyalahkan Heru, An. Mungkin saja ia meresa telah dewasa dan sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga ketika Ibu menegurnya, ia merasa privasinya telah diganggu. Toh wanita yang diajaknya hanya mendengarkan musik saja di kamar. Namun, hal seperti itu tidak bisa ditolerir di keluarga kita. Apalagi ibu yang masih mengagungkan adat ketimuran.”

“Apa pun alasanya, anak itu sudah sangat keterlaluan. Kalau Wilman tahu, tentu ia akan marah besar.”

“Sebaiknya kamu menyelesaikan hal ini dengan Heru tanpa sepengetahuan ayahnya. Ibu telah berpesan padaku, jangan sampai Wiman tahu. Beliau tak ingin sesuatu yang buruk menimpa cucunya hanya karena kemurkaan Wilman.”

“Entah di mana aku harus menaruh mukaku ini. Berhadapan dengan Mbak saja aku meresa malu, apalagi harus berhadapan dengan Ibu. Aku betul-betul gagal menjadi seorang ibu yang baik, Mbak.”

“Kamu tidak perlu merasa seperti itu, An. Kamu tetap adikku yang baik. Masalah ini tidak akan mengubah hubungan kita. Pulang dan bicaralah dengan Ibu kemudian dengan Heru. Aku yakin, kamu bisa membereskan hal ini dengan baik.”

“Oke, Mbak. Aku permisi dulu. Terima kasih atas perhatiannya.”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Andini malaju menembus keramaian lalu lintas. Entah sudah berapa sopir angkutan kota yang mengumpat karena mobilnya hampir bersenggolan dengan mobil Andini. Entah kekuatan apa yang menyebabkan ia mampu mengendarai mobil dengan kecepatan seperti itu. Hanya satu tujuan, yaitu segera sampai di rumah dan mencium tangan mentuanya sebagai permohonan maaf karena ulah anaknya yang dirasakan sangat memalukan.

Teeeeee! Pak Darman yang terkantuk-kantuk terkejut ketika mendengar suara klakson Andini. Pembantu keluarga Andini itu segera membukakan pintu. Ia sebenarnya ingin mengucapkan salam. Namun, begitu melihat air muka Andini, ia langsung terdiam.

“Pak, Ibu sudah pulang?”

“Iya, tadi diantar Pak Surya! Mungkin sekarang sedang istirahat di halaman belakang.”

Andini bergegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Pak Darman yang terbengong-bengong melihat tingkah tuanya. Belum pernah ia melihat air muka Andini mnyiratkan kemarahan yang amat sangat. Nyonyanya yang satu ini paling jarang marah, bahkan dalam keadaan marah pun terkadang masih tesenyum. Hanya dari nada suaranya yang terdengar tegas dan sedikit menyindir, orang sudah tahu ia sedang marah.

“Ibu! Maafkan Dini. Dini sudah menyakiti perasaan Ibu!” Andini langsung berlutut menciumi tangan ibunya.

“An, ada apa ini? Kamu sudah melakukan apa sehingga harus mencuimi tangan ibu sedemikian rupa?”

“Aku bukan ibu yang baik dan tidak bisa mendidik anak dengan benar. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan urusan kantor sehingga tidak mengetahui kelakukan anak-anak ku sendiri.”

“Apa lagi yang dilakukan anak-anakmu, An? Sampai kapan pun, di mata ibu kamu tetap anak yang paling baik dan paling pandai mengurus anak dan cucuku. Kamu juga sudah mengurus dan menyediakan segala kebutuhanku di rumah ini sehinga aku bisa melewati masa tuaku dengan tenang. Apa yang membuatmu demikian risau, An?” Mertuanya menuntun tangan Andini dan mendudukannya di sampingnya.

“Mengapa Ibu menyembunyikan masalah Heru? Seharusnya aku diberi tahu sehingga aku bisa bicara dengan anak itu. Jangan sampai hal ini berlarut-larut dan membuat ia berpikir bahwa bisa memperlakukan Ibu seenaknya saja. Anak itu harus diberi pelajaran.”

“An, kamu jangan terlalu keras. Saat ini ia sedang dalam proses mencari jati dirinya. Jika kamu terlalu menekan, jiwanya akan berontak. Ibu sudah melupakan kejadian itu dan Ibu rasa hal itu tidak akan terulang kembali. Pada dasarnya Heru adalah anak yang baik.”

“Apa pun alasannya, saya harus tetap bicara dengan Heru dan memberinya sedikit pelajaran agar tidak melecehkan orang yang lebih tua darinya!”

“Terserah kamu, tapi jangan sampai kamu menyakitinya. Ia bukan anak kecil lagi yang bisa kamu jewer telinganya ketika ia berbuat suatu kesalahan. Ia telah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa. Sebaiknya kamu istirahat. Kamu tampaknya lelah,” Andini mengangguk kecil dan segera pamit untuk istirahat.

***

Sore itu Andini sengaja tidak menengok restorannya. Ia ingin menunggu kepulangan Heru. Ia harus segera membereskan masalah ini dengan anaknya. Meskipun ia telah meminta maaf pada mertuanya, ia tetap tidak dapat mengampuni dirinya sendiri. Bagaimana mungkin Heru yang begitu manis tega berbuat demikian pada orang yang ia hormati. Membantah perkataannya saja Andini sangat segan. Apalagi melakukan hal...Ah, ingin rasanya Andini merobek mulut anaknya jika mengingat apa yang telah dilakukannya.

“Heru! Setelah menyimpan tas, kamu langsung menemui Mamah di ruang kerja. Ada hal penting yang harus kita bicarakan,” Andini langsung memanggil Heru ketika melihat anaknya itu menaiki tangga menuju kamarnya.

“Ada apa, Mah?”

“Jangan banyak tanya. Ikuti saja yang Mamah katakan. Mamah beri waktu kamu lima menit!”

Heru memandang Filsa, adiknya. Namun, Filsa hanya mengangkat bahu tanda tidak mengatahui apa-apa. Yang jelas, mereka berdua tahu, Mamah mereka sangat marah.

“Ada apa, Mah?”

“Duduk! Kamu tahu apa kesalahanmu sehingga Mamah memanggil kamu kemari?”

Heru menggeleng tak mengerti.

“Apa yang telah kamu perbuat pada Nenekmu minggu lalu?” Heru tersentak keget. Ia tidak berani lagi manadang ibunya. “Pandang Mamah jangan jadi pengecut! Mengapa kamu meludah di depan Nenek ketika beliau menasehatimu? Perbuatan macam apa itu!”

“Heru khilaf, Mah, Heru janji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi!”

“Apa kamu bilang...! Khilaf...! Seenaknya saja kamu mengatakan hal itu! Apakah Mamah mengajarkan bahwa setelah dewasa kamu bisa menentang orang tuamu?” Heru menggeleng lemah. “Kamu tahu apa yang Mamah pegang ?” Heru mengangguk pelan. Benda itulah yang menyebabkan kulitnya memar dipukul ayahnya ketika mencuri mangga Pak Dimas. Ia pasrah saja kalau mamahnya memukulnya dengan sabuk kulit itu. Toh itu memang kesalahannya. Sungguh di luar dugaan Heru, mamahnya menyabetkan sabuk itu ke tubuhnya sendiri. Andini terus memukuli tubuhnya.

“Mamah, jangan lakukan itu...!”

“Mamah...hentikan...!”

“Heru mohon...!”

“Seperti inilah mungkin rasa sakit hati Mamah karena tidak becus mendidik kamu dengan benar. Apa kata orang jika mengatahui hal ini? Mau taruh di mana muka Mamah ini. Ternyata keluarga yang tampaknya begitu sempurnya punya anak yang begitu kurang ajar dan tidak tahu sopan santun,” Andini terus memukuli tubuhnya, tidak memperdulikan teriakan Heru.

Kegaduhan di ruang kerjanya membuat Filsa dan ibu mertuanya panik. Segera saja mereka menggedor-gedor pintu kamar Andini. Namun, pintu kamar itu tetap terkunci rapat. Untungnya Wilman datang dan mendobrak pintu itu. Di dalam kamar, Heru manciumi kaki ibunya yang masih terus mencambuki dirinya sendiri.

“Mamah jangan sakiti diri Mamah. Ini semua kesalahan Heru!” Mereka tercengang melihat pemandangan di depannya. Filsa teriak histeris melihat ibunya. Wilman segera memeluk istrinya dan merampas sabuk itu.

“Apa yang telah kamu lakukan?”

“Aku tidak berhasil mendidik anak kita dengan baik. Ia telah durhaka pada Ibu. Kamu pasti akan menyalahkan aku,” kalau tidak ditahan Wilman, Andini akan terjatuh ke lantai. Ia tidak punya kekuatan apa-apa lagi. Tenaganya habis terkuras. Wilman membopong istrinya dan membaringkannya ke tempat tidur.

“Astaghfirullah, An. Kenapa kamu menyakiti dirimu sendiri? Ibu toh sudah memaafkan perbuatan Heru. Lalu kenapa kamu tidak dapat melupakan kesalahan anakmu sendiri?”

“Mamah, Heru akan menuruti semua keinginan Mamah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan ini lagi, asalkan Mamah tidak menyakiti diri Mamah lagi.”

“Mamah sudah maafkan kamu, sayang. Sekarang mintalah maaf pada Nenekmu.”

“Maafkan aku Nek.”

“Nenek sudah memafkanmu, jauh sebelum kamu memintanya,” Heru langsung berlutut mencium tangan neneknya. ***

ZIARAH

Oleh: Zaldy Munir


HAMPIR sebelas tahun kami berkeluarga, tak sekali pun istriku mengajak berziarah kemakam Ayah. Kupikir, dia saja tak lagi merindukan orang tuanya, apalagi aku cuma menantunya. Pernah beberapa kali, terutama menjelang masuk bulan Ramadhan, aku mengajak istriku kemakam Ayah. Tetapi, istriku selalu menolak dengan berbagai alasan.

“Aku bukan anak kesayangan Ayah. Anak kesayangan Ayah itu Santi, Anto, dan Lilis. Suruh mereka Ziarah!” Istriku memberi alasan dengan suara meninggi. Ini kali terakhir aku mengajaknya berziarah.

Aku tahu dari cerita istriku, di mata Ayah ia memang seperti anak buangan. Sebagai anak tertua, Sinta, istriku, seharusnya jadi panutan bagi ketiga adiknya. Ia juga berkewajiban, misalnya, membantu Ibu. Kenyataannya, ia acap berada di luar rumah bersama teman-temannya dan baru pulang saat matahari sudah terbenam.

Suatu ketika Ayah amat berang, kenang sinta, lalu memarahi dan memukulinya. Bahkan ia nyaris dihantam oleh Ayah, kalau ibu tidak segera menariknya ke dalam kamar. Sejak itu, Ayah tak pernah menegur meski berpapasan. Begitu pula Sinta. Sejak itu keduanya layaknya kucing dan anjing, betapa pun tak saling menggonggong dan mengeong, namun tak saling melirik.

Sinta tahu betul kelakuan ayah di liuar rumah. Sinta pernah melihat Ayah bersama perempuan sebaya dengannya masuk ke sebuah supermarket. Hatinya seakan pecah saat itu. Ia seakan menyaksikan Ayah yang tengah mengiris-iris kesucian dan kesetiaan Ibu. Ia menagis dalam hati. Ketika fakta itu diceritakan kepada Ibu, Ibu hanya tersenyum.

“Mungkin Ayahmu sedang mengenang masa-masa mudanya. Kalau Ayah sudah puas dengan cara itu, ia akan kembali juga kepada keluarganya, kepada kita. Ia sebenarnya mencintai keluarga…” Ibu berujar. Sinta melihat Ibu tetap tegar.

Tapi, perkiraan Ibu meleset. Ayah makin menjadi-jadi dengan para perempaun yang bukan istrinya. Setiap kali Ayah ke luar kota untuk urusan pekerjaanya, ia tak pernah minta didampingi Ibu. Tetapi, demikian Sinta, ia yakin Ayah selalu ditemani perempuan.

Pernah Sinta melihat Ayah masuk ke sebuah hotel sebelum ia berangkat ke jakarta. Tak lama kemudian ia sudah keluar bersama perempuan lalu menuju pelabuhan penyeberangan. Pernah pula karena kelakuannya itu, Ayah dihajar preman dekat hotel saat hendak menjemput Novi yang akan menemaninya selama di Bandung. Surat kabar daerah memberitakan insiden di depan hotel itu. Ibu acuh menanggapi.

Terkadang, cerita Sinta lagi, ia berpikir apakah Ibu apatis karena sudah tahu sifat Ayah sejak pacaran? Atau ibu takut dicerai jika protes? Ayah memang pebisnis sukses, aktivis partai, juga anggota legislatif yang bertahan dua kali pemilu. Sayangya, Ayah tak bisa meninggalkan kebiasaan mabuk, perempuan, dan hobi nongkrong dengan teman-temannya di ruang karoke.

“Apa yang bisa kuteladani dari Ayah? Itu sebabnya, aku protes dengan cara menghabiskan waktu di laur rumah!” Tandas Sinta suatu hari sebelum aku menyuntingnya sebagai istri. “Tapi, protesku tak pernah sampai ke hal negatif. Misalnya, berhenti kuliah, mabuk-mabukan, jadi wanita penghibur, dan sebagainya. Pikirku, itu cara yang tolol!”

Sinta yang kutahu, memang tak suka hedonis dan independen. Kalau ia pulang sampai larut malam, bukan mencari kesenangan. Ia kerap main di rumah teman-temanya, belajar, dan baru pulang pada malam hari. Pertama kali aku bertemu Sinta di rumah Nisa, adik dari tamanku. Sejak itu kami sering ketemu untuk berdialog. Meski kami lain perguruan tinggi, kami acap jalan bareng. Karena sering bersama, akhirnya kami saling jatuih cinta. Seusai wisuda, aku melamarnya. Saat itu Ayahnya sudah meninggal.

Meski aku tak pernah melihat Ayah, sebagai menantu aku berkewajiban untuk mengajak istriku ziarah. Bagaimana pun Ayah berjasa membesarkan mereka. Sejahat-jahat Ayah, tetap orang tua yang meski dihormati.

“Aku tetap hormat padanya, tak sekedar bahwa ia pernah menjadi orang tuaku, karena ia adalah suami dari Ibu…” jawab Sinta.

“Bukan sekedar itu, Sinta. Ayah juga memberimu segala kebutuhanmu. Ayah bekerja untuk kesejahteraan kalian,” kataku nasehatinya.

“Setiap orang tua mana pun pasti berbuat begitu. Jadi, tak perlu dibahas karena memang tidak aneh…” Sinta menukas. Ia tak mau kalah. Ia juga hendak mempertahankan sikapnya yang sebenarnya menurutku amat kaku, fatalis, dan skeptis. Hanya aku tak mau memperpanjang, sebab akan meruncing pertangkaran.

Apalagi Sinta pernah mengingatkanku. “Mas, jangan singgung lagi soal Ayah. Ia sudah lama meninggal. Aku janji akan mengajak Mas Indra kalau aku benar-benar mau ziarah ke Ayah,” sejak itu, aku tak lagi menyinggung soal itu.

***

Kalau pagi ini tiba-tiba Sinta mengajakku ziarah, apa karena ia sudah menyadari kesalahannya? Atau karena sadar bahwa masa lalu hanya pantas dikenang, tapi tak harus tertanam jadi dendam? Entahlah. Terkadang aku sulit memasuki hati Sinta yang acap mistri.

Sejak pagi tadi, Sinta sudah menyiapkan segala sesuatu untuk ritus ziarah. Ada bunga, surat yasin, dan sebagainya. Tetapi, diam-diam aku keluarkan lagi dari tas. Aku tak terbiasa dengan pernik-pernik seperti itu. Ziarah adalah datang dan berdoa. Karena kekuburan adalah untuk mengingatkan yang masih hidup bahwa kita akan mengalami hal serupa.

Kalau aku kerap membujuk Sinta berziarah ke makam Ayah, itu karena aku ingin mengingatkannya sebagai anak pada orang tua. Setalah itu kuharap ia tidak lupa mendoakan keselamatan, kebahagiaan, dan ketentraman Ayah di alam kubur setiap salat. Kalau tak pernah ingat, mana mungkin ia akan mendoakan? Hanya anak yang baik dan saleh yang diharapkan oleh orang tua bisa mendoakannya.

Saat memasuki TPU, pemakaman itu masih lenggang. Di depan nisan Ayah, Sinta tiba-tiba saja menangis tersedu sambil menjatuhkan tubuhnya. Aku tak sempat memegangnya, kening Sinta terluka karena beradu dengan nisan. Aku ingin mengelap dengan sapu tanganku, tapi ia menapik halus. Ia menangis. Ya! Keterharuan kini menyergapnya. Mungkin ia menyadari kehilafannya selama ini.

Kubiarkan Sinta seperti itu. Kubarkan kedua telapak tangannya berlumur tanah. Kubiarkan selendangnya juga ikut basah oleh air mata. Kubiarkan ia memeluk nisan seperti ia memeluk ayahnya. Kedua anakku mendekap tubuhku, memandang mamanya. Saat itu, sinar mata hari menjelang pukul 09.00 menyengat tubuhnya.

“Apakah Ayah mau memafkanku, Mas?” Sinta bertanya setelah kami berada di mobil. “Aku banyak dosa pada Ayah…”

“Allah saja Maha Pengampun, kenapa manusia tidak mau memberi maaf?” Kataku balik.

‘Kalau kita ikhlas meminta maaf, yakinlah orang lain akan memaafkan kita.”

“Aku ihklas, aku ingin minta maaf. Aku memohon Allah mau mengampuni dosa-dosa Ayah. Aku juga berjanji akan mendoakan Ayah setiap selesai salat…”

“Kenapa tiba-tiba kau begitu terbuka, pemaaf, dan mau ziarah? Ada sesuatu yang mengusik hatimu?” tanyaku kemudian.

“Ya. Tiga malam terakhir ini aku bermimpi didatangi Ayah. Ayah merangkak dan aku menyambutnya pula dengan merangkak. Kami bertemu di suatu padang tanpa belantara, ilalang, pasir, dan tanah. Kami seperti dua hewan yang melata, dahaga, dan lapar...” Sinta menjelaskan mimpinya. “Lalu kami saling berpelukan, melepas rindu,…”

Sinta melanjutkan ceritanya, “Aku kasihan melihat nasib Ayah. Di dalam mimpi, aku lihat Ayah digebah dan dicambuki sejumlah pengembala. Layaknya lembu atau sapi, Ayah digebah oleh pengembala yang semuanya perempuan. Ah, entah apa pula maskud dari semua itu. Aku tak tahu, aku tak mengerti, aku tak bisa menafsirkan mimpiku itu.”

Tapi, apa perlu mempersoalkan mimpi? Hematku, yang penting Sinta sudah mau datang ke makam Ayah. “Kuharap setelah ziarah ini, hatimu jadi tenang,” ujarku pada malam hari menjelang tidur. Sinta mengangguk. Kemudian ia terlelap. Wajahnya tampak damai. ***

Ket : Cerpen ini pernah dimuat Majalah Sabili. Edisi 5 Th. xiv September 2006

ANAKKU ANAKMU

Oleh: Zaldy Munir


SENYAP dan kelam melingkupi pemukiman penduduk di kaki gunung Galunggung. Jiwa per jiwa telah pulas dalam tidurnya, setelah seharian melakukan aktivitas masing-masing. Kesunyian yang seakan berkepanjangan itu tiba-tiba dipecah suara tangis bayi dari rumah di bawah rimbunan pohon bambu.

Dengan wajah pucat dan kegelisahan yang amat sangat, sang ibu mencoba kembali meneteki bayinya. Seperti tadi, tidak setetes pun air susu yang keluar. Si anak yang masih berusia enam belas bulan itu tangisnya makin keras.

Dengan air mata meleleh, sang ibu yang masih muda itu hanya bisa memeluk bayinya erat-erat, ia tidak tahu harus berbuat apa di tengah malam begini. Jika tidak punya rasa malu, ingin rasanya membangunkan tetangganya untuk minta makan supanya air susunya keluar. Namun, ia tidak sangup melakukannya.

Ia teringat Pak Dadang, tetangga sebelah yang rumahnya hanya berjarak tiga puluh meter dari rumah Sastri. Juragan tahu yang tergolong orang kaya di kampungnya itu kabarnya menjadi donatur tetap sebuah yayasan panti asuhan.

“Pak Dadang…Pak Dadang, kalau bapak orang yang dermawan, tentu tidak akan membiarkan tetangganya kelaparan,” Sastri bergumam pedih karena ia yakin tangis anaknya terdengar sampai ke sana.

Sementara itu di luar, dari arah Barat, seorang wanita tua dengan rambut panjang acak-acakan berjalan tergesa. Kedua tangannya membawa piring dan gelas. Matanya yang setengah terbuka karena ngantuk membuat langkahnya tersaruk-saruk. Ia berjalan menuju rumah Sastri, di mana suara tangis bayi itu sudah tak terdengar lagi.

“Tri…Sastri” Mak Itih, nama wanita tua itu, memanggil sang-empunya rumah. Terdengar sahut dari dalam, lalu disusul suara sandal diseret. Krieeet! Pintu terbuka. Seraut wajah lelah menyembul keluar.

“Mak Itih…,” suara Sastri terpotong karena Mak Itih langsung masuk kedalam dan manaruh bawaannya di atas meja.

“Makanlah, Sas. Sini biar Doni aku gendong.” Mak Itih mengambil Doni dari gendongan ibunya. Wanita tua yang baik hati itu manatap dalam-dalam wajah Doni yang agak membiru seraya menepuk pantatnya pelan-pelan. Mata bayi itu kemudian terpejam. Di anatara desahan halus napasnya. Hati Mak Itih tersayat melihat keadaan bayi itu. Keluarga kecil itu bukan sanak bukan pula saudara, tapi ia sangat menyayangi mereka.

Di samping Mak Itih, di atas balai-balai, Sastri makan dengan lahap dan tergesa. Lauk tempe dengan sambal terasi terasa sangat nikmat, dalam sekejap masuk perutnya yang sejak siang kosong. Ingin pula Sastri meneguk susu sapi, tapi perutnya sudah kenyang. Ia bergegas ke dapur menaruh piring dan mencuci tangannya. Tak lama kemudian ia kembali ke kamar.

“Sebenarnya aku butuh dua orang lagi untuk menanam padi. Namun, jika aku menyuruh Hilman ia akan marah,” kata Mak Itih sambil menyerahkan Doni agar segera disusui. Bola mata Sastri kontan berbinar-binar.

“Tidak apa-apa, Mak. Saya siap menghadapi kemarahan Hilman,” ucapannya sungguh-sungguh. Mak Itih tersenyum. Kepalanya mangut-mangut. Dari balik kutanggnya ia mengambil selembar uang dua puluh ribu, lalu diselipkan di genggaman Sastri.

“Bawalah anakmu ke dokter. Ini tidak hutang, kok.” Setelah mencium pipi Doni, ia pamit pulang. Sastri masih terpaku menatap uang itu hingga lupa mengucapkan terima kasih. Begitu tersadar ia langsung berlari keluar. Namun, Mak Itih sudah jauh meninggalkan rumahnya.

Sastri menghela napas panjang, lantas berbalik masuk ke dalam rumah. Doni sudah tidur setelah puas menetek. Pelan-pelan ia turunkan di balai-balai. Bayi itu menggeliat dan matanya sedikit terbuka, kemudian menutup kembali. Sastri lantas berbaring di sisinya, mengatur rencana dengan uang dua puluh ribu itu.

Besok ia membawa Doni ke Puskesmas saja yang biayanya jauh lebih murah. Sisanya akan ia belikan susu. Sudah tiga hari ini susu anaknya habis. Sebagai gantinya ia beri air tajin dan tadi pagi Doni mencret. Ia tidak tahu apakah karena air tajin itu yang membuat anaknya mencret. Yang pasti ia sangat sedih karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya.

Makanan penuh gizi dan bervitamin hanya bisa ia bayangkan tanpa sanggup membeli. Ia hanya bisa mamberi susu tambahan, itu pun ia jatah hanya segelas sehari. Jika malihat anak tetangganya yang sehat dan gemuk-gemuk serta dibalut baju bagus, hatinya makin tersayat.

Sanstri menguap. Bersamaan dengan dentang jam dua belas kali ia pun tertidur setelah lelah mengayam pikiran.

***

Lelaki berparas gemuk yang bersedeku di pintu angkotnya itu mengendarkan pandangannya ke sekeliling pesawahan yang luas membentang. Gunung-gunung serta bukit-bukit pun nampak menjulang dari kejauhan. Ia melirik jam tangannya, pukul sembilan malam. Biasanya jam segini masih ada orang yang berlalu lalang menikmati angin malam. Namun, malam ini ia tidak melihat seorang pun. Orang-orang yang biasanya menghabiskan malam dengan main kartu kali ini juga tidak nampak.

Di jalan setapak kaki desa, yang terapit oleh tambak dan parit kecil, dia duduk mengaso sambil melonjorkan kaki di atas rerumputan tepi parit. Sementara desir angin gunung sejuk membelai rambutnya dengan mesra. Air parit yang cukup jernih pun lancar mengalir, sehingga dapat digunakan oleh penduduk setempat untuk mandi dan mencuci melalui pancuran bambu yang kemudian terapung dalam bak mandi atau kolam. Lelaki yang wajahnya dipenuhi cambang itu manatap langit yang kelabu. Di sana, di tengah angkasa terlukis wajah anak dan istrinya.

“Kang, izinkan aku kerja, untuk membelikan susu buat si Doni.” Ucapan istrinya kembali terngiang. Kata-kata yang belakangan ini sering didengarnya dan membuatnya hampir kehilangan kesabaran.

Keinginan istrinya itu benar-benar menohok ulu hatinya, menurunkan harga dirinya sebagai suami. Dan yang paling ia takutkan adalah cemoohan orang-orang yang mengira dirinya tidak mampu menafkahkan keluarga.

“Doni harus jadi orang, Kang. Jangan seperti kita.”

“Alasan!” Tanpa sadar Hilman mendengus. Punggungnya dihempaskan di antara rerumputan. Terkadang ia curiga istrinya ingin kerja supaya bisa hidup enak seperti dulu dan keadaan anaknya yang dijadikan alasan. Hilman tahu, berprasangka buruk itu tidak baik. Apalagi kepada istri sendiri. Namun, ia tidak akan berpikir macam-macam seandainya Sastri bukan mantan wanita penghibur.

Hilman juga sadar, ia tidak mampu mencukupi kebutuhan anak istrinya. Jangankan untuk beli baju atau ini itu, untuk makan sehari-hari saja sering tidak cukup. Sebenarnya, penghasilannya sebagai supir angkot cukup lumayan. Namun, separuh dari upahnya ia gunakan untuk mengangsur hutangnya di bank tiap bulan selama lima tahun.

Dua tahun lalu ia pinjam uang di bank sebesar empat juta untuk mendaftar jadi TKI ke Arab. Lebih dari setahun ia belum diberangkatkan juga. Ketika didatangi, ternyata ia ditipu, amblas bersama uangnya.

Dengkuran keras di sampinya membuyarkan lamunan Hilman. Rupanya Aceng, keneknya, sudah dibuai mimpi. Dengan hati-hati Hilman mengambil buku karangan Muhammad Iqbal yang menutupi wajahnya. Dibolak-baliknya sebentar lalu ditaruh di pangkuannya. Lantas ia memejamkan mata. Dalam hati ia berzikir untuk menenangkan perasaanya yang tiba-tiba gelisah.

***

Sastri keluar dari Puskesmas dengan hati tidak karuan. Ucapan dokter terus terngiang. Hari ini juga ia disuruh memeriksa Doni ke rumah sakit. Ia sudah diberi surat pengantar. Namun, untuk ke sana, paling tidak ia harus membawa uang dua ratus ribu. Mau pinjam ke Pak Kandar, juragan suaminya, ia merasa sungkan karena hutangnya yang seratus ribu belum dibayar. Sastri menatap anaknya. Wajah mungil itu tampak pucat dan membiru. Mata anaknya yang redup membalas tatapan ibunya. Duh, Sastri tersendu. Akhirnya Sastri ke rumah Mak Itih untuk menitipkan Doni, sementra ia akan menemui Tante Nis, cari hutang.

“Tante Nis sedang keluar,” ucap satpam. Sastri berniat menunggu di salonnya. Di tempat itu ada Yuli yang tengah bertugas menjaga salon. Kedua wanita itu kemudian terlibat obrolan yang hangat.

“Aku iri sama kamu, Sas. Ada pria yang menerimamu dengan tulus. Pasti kamu bahagia,” Yuli menatap lekat bekas teman se-propesinya sebagai wanita penghibur. Sastri tersenyum penuh kemunafikan. Tidak mengomentari. Bahkan ia balik bertannya.

“Kudengar kamu mau nikahi Heri?” Yuli menarik napas panjang. Matanya sendu dengan tatapan kosong ke atas.

“Dia anak orang terhormat. Ia tidak pantas punya menantu mantan pelacur deperti aku ini. Sebanarnya ia mau nekat, tapi kularang…”

Teriakan azan dhuhur berkumandang yang entah di mana tempatnya. Seperti dikomando keduanya berhenti bercakap untuk mendengarkan azan.

“Kamu atau aku yang salat dulu,” tawar Yuli begitu azan usai.

Sastri manatap temanya hampir tak percaya, “Kamu sekarang telah berubah Yul,” gumamnya serius.

Yuli tersenyum tipis. “Dosaku terlalu banyak, Sas. Oke, aku salat dulu,” tanpa menunggu jawaban Sastri, gadis bertampang indo itu menuju ke dalam. Sastri mengiring kepergian Yuli sampai hilang di balik dinding.

Sementara itu, hati Hilman benar-benar meradang saat diberi tahu Mak Itih kalau istrinya ke Tante Nis. Tanpa berkata-kata lagi ia meluncurkan angkotnya. Ia yakin istrinya ada di sana. Ternyata benar. Dari luar pagar, ia melihat Sastri berdiri di tengah pintu, bercakap-cakap dengan lelaki muda yang berambut gondrong. Jluk! Hilman keluar dari dalam angkotnya dan menghampiri Sastri dengan muka merah padam.

“Akang…!” Sastri terperangah dengan kedatangan suaminya.

“Dasar wanita tidak tahu diri. Anak sakit malah selingkuh.” Plak! Plak! Tangan kekar Hilman mendarat berkali-kali di pipi Sastri. Wanita berbadan kurus itu menjerit kesakitan. Hilman sudah kalap. Ia baru berhenti menghajar begitu istrinya terjatuh di lantai.

Lelaki muda yang hendak potong rambut yang mencoba melerai terduduk di lantai, dadanya kena pukul Hilman. Entah…setan apa yang merasuki dirinya. Yuli yang baru saja selesai salat menjerit histeris melihat keadaan Sastri. Gadis itu menatap Hilman lekat-lekat.

“Hilman kamu salah paham!” Yuli mencoba menjelaskan.

“Jangan membelanya. Semua sudah jelas.” Hilman mencibir sambil melirik istrinya. Lantas meninggalkan tempat itu.

***

Doni terkena infeksi lambung dan mondok di rumah sakit selama seminggu. Selama itu pula, Hilman dan Sastri tidak bertegur sapa. Bahkan sampai mereka pulang ke rumah. Tante Nis terpaksa turun tangan dengan mengatakan yang sebenarnya pada Hilman.

“Ibu mana yang mau berdiam diri melihat anaknya sakit,” gumam Sastri setelah suaminya minta maaf. Sore itu Sastri dan Hilman duduk di teras rumah, melepaskan unek-unek masing-masing. Sementara Doni yang sudah agak sehat tidur pulas di pangkuan ibunya.

“Aku sudah tahu semuanya,” Sastri menoleh dengan kening berkerut.

“Tante Nis yang menceritakannya,” Hilman menatap istrinya dalam-dalam. Dengan tangan gemetar tangannya menyentuh pipi istrinya yang masih membiru, bekas tamparan kemarin. Sastri yang manis tampak semakin kurus. Matanya cekung dengan sorot yang menyiratkan kelelahan dan penderitaan. Lalu, ia ganti memegang tangan anaknya yang terjuntai lemas. Hati Hilman tersayat. Perasaan berdosa dan menyesal menyeruak.

“Akang…” bisik Sastri. Ia melihat sudut mata suaminya berair. Hilman menunduk.

“Aku izinkan kau bekerja. Aku tahu salon itu khusus wanita. Namun, tolong jangan sia-siakan kepercayaanku ini.”

Sastri terasa mimpi mendengarnya. Agak lama ia terpaku. Lalu bibir mungilnya tersenyum lebar. Seraya menatap langit yang kemerahan, tanganya membelai rambut suaminya yang ikal.

“Kau bekerja untuk anak kita, ‘kan?” Hilman menegaskan, Sastri mengangguk mentap.

“Iya, untuk anakku anakmu,” Hilman hanya tersenyum ketika mendengar ucapan Sastri.***